Sabtu, 15 Mei 2010

HUKUM KONTEMPORER YANG NEOLIBERAL




diterbitkan di Bali Post edisi 14 Maret 2010

Judul : Bunga Rampai Pemikiran Hukum Kontemporer
Penulis : IGN Parikesit Widiatedja
Penerbit: Udayana University Press
Cetakan : Pertama, 2010
Tebal : x + 96 halaman



oleh. Dewi Bunga




Melangkah di jagad milenium ketiga alias era informasi atau post industry dengan meminjam bahasa Alvin Toffler dan Francis Fukuyama, liberalisasi telah menjadi editorial dunia yang menyedot animo dan perhatian beragam kalangan dari berbagai disiplin ilmu. Konstruksi dialektika ini tiada terlepas dari andilnya dalam proses konvergensi global yang tidak hanya melahirkan sinergi, namun juga menuai irama pergesekan-pergesekan atau bahkan fragmentasi. Harus diakui bahwa ia merupakan proses yang sulit dihindari. Sebagai ikon dan figurasi perubahan sosial, merujuk tesis Ralf Dahrendorf, nyaris tak ada satu negara pun yang lihai menjauh dari dekapannya, hanya mungkin eskalasinya bersandar pada kebutuhan, kemampuan, kemauan dan kesiapan suatu negara itu sendiri. Ibarat virus, liberalisasi bergerak secara perlahan-lahan dalam tingkat yang tadinya kecil untuk kemudian bertransmutasi ke tingkat yang lebih besar, mulai dari sisi ekonomi, sosial, hukum, politik hingga menyasar entitas budaya sejalan dengan pemikiran Talcot Parson dengan teori cybernetikanya. Pakar hukum progresif dan deep ecology Satjipto Rahardjo lantas mengatakan bahwa perubahan ini bahkan melebar kepada proses berpikir manusia dengan menyeret pula ilmu hukum. Fenomena yang kemudian dikatakan sebagai law of full disorder oleh Charles Stamford yang terbingkai dalam potret kompleksitas, kekalutan, ketidakteraturan, ketidakbecusan, dan sederet anomali lainnya.

Eksistensi liberalisasi memberi garis penekanan pada platform kebebasan individu atau peran rakyat secara aktif, dengan peran negara yang negatif merujuk teori dari maestro ilmu negara, George Jellinek. Liberalisasi juga mempromosikan adanya konstelasi interaksi dengan seluruh negara, tanpa adanya suatu restriksi diskriminatif dalam fase produksi, distribusi hingga pemasaran suatu produk barang dan jasa. Konsep ini lalu mendapatkan dukungan solid dari Milton Friedman yang menegaskan kehidupan ekonomi masyarakat paling ideal berlangsung tanpa campur tangan pemerintah dan Insentif individual merupakan pedoman terbaik untuk menstimulasi ekonomi. Serupa dengan itu, Walter Nicholson lantas menambahkan bahwa campur tangan pemerintah dalam kebijakan ekonomi dapat menyebabkan rent seeking behaviour yang ia istilahkan sebagai firm or individuals influencing goverment policy to increase their own welfare. Jalinan kooperatif antar keduanya inilah yang menjadi cikal bakal suatu paham yang belakangan dikenal sebagai neoliberalisme.

Memandang dari perspektif hukum, arah dan kendali sistemnya pun menyodorkan ruang proteksi optimal bagi kemerdekaan individu dengan mengarusutamakan prinsip kebebasan (principle of freedom), prinsip persamaan hak (principle of legal equality) serta prinsip timbal balik (principle of reciprocity). Sejalan dengan fungsinya sebagai social engineering dan social empowering, materi muatannya diterjemahkan untuk meladeni paham yang awalnya berakar dari ide dan kreasi Adam Smith tersebut. Dengan dalih itu, keadilan didudukkan sebagai variabel yang bersifat sub-ordinat dari kemerdekaan individu. Sepintas, pemaparan ini agaknya semakin meneguhkan argumentasi beberapa kalangan yang mensinyalir bahwa hukum di era kontemporer telah hanyut dalam derasnya gelombang liberalisasi dan berpindah haluan sebagai perahu kapitalisasi ekonomi yang kontras dengan cita-cita adiluhung to bring justice to the people.

Paradoks kesalahan inilah yang menjadi salah satu isu sentral dari buku “Bunga Rampai Pemikiran Hukum Kontemporer” yang ditulis oleh IGN Parikesit Widiatedja (29th), staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Udayana. Secara eksplisit, buku ini sepertinya merupakan kumpulan percikan pemikiran yang terpisah dan seolah berdiri sendiri, namun apabila ditelusuri lebih jauh dari alur logika, analogi, dan konsep yang diusung, bermuara pada satu kecenderungan yang senafas bahwa telah terjadi pergeseran degradatif dari visi dan orientasi hukum di era kontemporer. Untuk itu, penulis mencoba melacak gelagat keterpihakan hukum terhadap proses liberalisasi yang ditunjukkan dengan semakin luasnya daya jangkau dan operasionalisasi liberalisasi, dengan mulai merambah sektor-sektor sensitif yang menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia, seperti perbankan dan pariwisata. Dalam salah satu ulasan kritisnya, penulis menyatakan bahwa di era liberalisasi, hukum seolah-olah diabdikan pada paradigma ekonomi liberal dengan menjadi instrumen pasar menuju akumulasi modal dan laba. Pemikiran ini seakan menyegarkan kembali ingatan kita dengan perkataan Karl Marx bahwa ciri-ciri kapitalisme ditandai oleh adanya peraturan yang menyebabkan penimbunan dan konsentrasi modal dengan hasil akhirnya adalah peningkatan kemelaratan. Di bagian lainnya, penulis juga memaparkan begitu kooperatifnya Indonesia terhadap proses liberalisasi. Sinyalemen ini terungkap dengan masuknya bibit-bibit liberalisme dalam UUD 1945 yang dapat ditemukan dalam pasal 33 ayat 4 melalui pencantuman asas efisiensi, dan pasal 28 h ayat 4 UUD1945 tentang pengakuan dan jaminan terhadap hak milik individu dari pengambilalihan secara sewenang-wenang. Buntut dari perubahan revolusioner tersebut, tak kurang sekitar tiga puluh lima ketentuan hukum setingkat undang-undang telah diterbitkan pemerintah seiring peran aktifnya dalam proses liberalisasi.

Terdapat tiga tulisan yang menjadi curahan perhatian penulis terhadap gugusan fenomena getir di atas yakni menyangkut lisensi paten yang bertutur akan ketimpangan posisi tawar, manual prosedur, dan pertanggungjawaban proses alih teknologi antara negara maju dan berkembang, eksistensi bank asing yang justru menguasai peta persaingan perbankan dan menyebabkan babak-belurnya kondisi bank-bank lokal potensial nasional, serta keberadaan pariwisata sebagai industri terbesar di dunia dan menjadi keunggulan komparatif kita yang tak luput pula dari jamahan liberalisasi. Jika tidak disikapi dengan serius, bukan tidak mungkin bila apa yang diramalkan Hernando de Soto akan terjadinya ketergantungan dari negara berkembang terhadap negara maju (baca: kuat), benar-benar menjadi keniscayaan. Joseph E Stiglitz mendeskripsikan keadaan ini sebagai imbas asymmetric information di antara negara-negara di dunia. Secara tersirat, konstruksi ini seolah-olah mengamini apa yang dikatakan oleh Anaximander dan Gunplowics bahwa hukum tak ubahnya susunan defisi yang dibentuk justru untuk menyantuni pihak yang kuat dan menanggalkan apa yang dinamakan sebagai postulat moral atau meta-juridis.

Terlepas dari kurang lugasnya kritik yang diberikan, Buku ini juga layak disebut “jembatan penghubung” hukum dengan masyarakat awam yang notabene 90% bukan orang hukum mengingat jawaban dari serentetan problematika hukum yang acapkali meletupkan polemik, kemelut, dan kerisauan di masyarakat dapat pula ditemui di dalam buku ini. Seperti apakah interaksi intensif hukum dengan politik? Mengapa kepentingan politik selalu mengintervensi hukum? bagaimana pengaruhnya terhadap peraturan hukum yang dihasilkan? lalu mengapa penegakan hukum yang tidak memihak ibarat angan-angan kosong belaka (wishful thinking)? Benarkah belenggu kekuasaan berdampak sistemik pada proses penegakan hukum itu? lalu apakah kontribusi konkret hukum dalam pembangunan ekonomi? Mengapa hukum dikatakan telah menjelma sebagai ilmu perumus yang justru menjerumuskan ekonomi Indonesia? Benarkah kontrol kolonial gaya baru telah menancapkan kukunya dalam bentuk liberalisasi? Sederet pertanyaan populer inilah yang tampaknya coba dijawab tuntas penulis di dalam buku pertamanya tersebut.

20 April 2010 | BP Mafia Kehutanan dan Deforestasi

Euforia dari otonomi daerah dalam pemberian izin konversi hutan juga turut memberikan potret kelam dalam deforestasi. Lemahnya kebijakan juga ditandai dengan lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran atas ketentuan-ketentuan di bidang kehutanan. Bahkan disinyalir mafia hutan ini dimotori oleh sejumlah oknum pejabat terkait dan organisasi-organisasi besar.









Oleh Dewi Bunga



Kejahatan di bidang kehutanan merupakan suatu bentuk kejahatan yang menjadi sorotan publik. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam keterangan persnya kembali menegaskan mengenai masalah krusial yang mesti mendapat perhatian, yakni masalah penegakan hukum di bidang kehutanan. Tak dapat dimungkiri bahwa hutan memberikan banyak manfaat bagi kehidupan makhluk hidup dalam suatu ekosistem. Hutan adalah produsen oksigen utama bagi makhluk hidup yang sekaligus dapat memberikan kemanfaatan finansial bagi masyarakat dan negara. Setiap tahun sebelum terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997, sektor kehutanan telah menyumbangkan devisa negara mencapai US$ 7 - 8 miliar, diikuti dengan 13 jenis pajak dan pungutan nonpajak dari setiap meter kubik kayu yang dipungut dari sektor kehutanan.

-------------------



Namun, pemanfaatan hasil hutan ini tidak diimbangi dengan penjagaan dan pelestarian hutan. Perhutani dalam situs resmi Depdagri RI menyatakan, kerusakan hutan yang terjadi tahun 2007 ini sudah mencapai kisaran 250 ribu - 300 ribu ha. Angka tersebut hampir menyamai jumlah kerusakan hutan yang terjadi selama 2006. Pada tahun 2009 laju kerusakan hutan produksi di Indonesia mencapai 1,08 juta ha per tahun. Departemen Kehutanan pada tahun 2007 melaporkan bahwa secara keseluruhan deforestasi terjadi seluas 1.08 juta ha per tahun di Indonesia. Akibatnya pendapatan domestik bruto (PDB) melalui sektor kehutanan ini mengalami penurunan yang signifikan.

Dari tahun 1997 hingga tahun 2006 sebagaimana data yang dilaporkan Badan Pusat Statistik, PDB selalu kurang dari 2% dari persentase PDB nasional. Ada beberapa hal yang menjadi isu penting dalam kejahatan kehutanan seperti illegal logging, kebakaran hutan, pengelolaan hutan tanpa izin dan sebagainya. Untuk mencegah terjadinya kejahatan-kejahatan di bidang kehutanan tersebut maka diperlukan konsep-konsep pengamanan hutan yang tepat guna. Konsep pengamanan hutan merupakan langkah penting di tengah minimnya perhatian masyarakat terhadap permasalahan ini. Konsep pengamanan hutan merupakan bagian dari upaya perlindungan hutan, baik dalam aras internal maupun dalam aras eksternal. Pengamanan hutan dari aras internal melahirkan kewenangan kepolisian khusus bagi pejabat kehutanan tertentu sebagaimana yang diatur dalam PP Nomor 45 Tahun 2004.

Yang dimaksud dengan pejabat kehutanan yang memiliki kewenangan khusus tersebut adalah pegawai negeri sipil yang diangkat sebagai pejabat fungsional polisi kehutanan, pegawai perusahaan umum kehutanan di Indonesia (Perum Perhutani) yang diangkat sebagai polisi kehutanan serta pejabat struktural instansi kehutanan pusat maupun daerah yang sesuai dengan tugas dan fungsinya mempunyai wewenang dan tanggung jawab di bidang perlindungan hutan.

Pengamanan hutan dalam aras eksternal memerlukan perhatian dari masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat, baik yang berskala nasional maupun internasional.



Legalisasi Deforestasi

Tingginya angka kerusakan hutan yang disebabkan oleh kejahatan di bidang kehutanan tidak lepas dari peranan mafia hutan. Akibat illegal logging oleh para mafia ini, negara menderita kerugian sebesar Rp 30 triliun per tahun, belum lagi akibat kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan tersebut. Pemerintah juga turut memberikan sumbangan atas legalisasi deforestasi melalui pengeluaran izin yang memberikan kesempatan bagi investor untuk mengalihfungsikan hasil hutan seperti konversi hutan menjadi daerah pertambangan atau perkebunan.

Deforestasi yang bersifat sistematis, massif, dan terorganisir ini disebabkan oleh beberapa hal, yakni lemahnya kebijakan di bidang hukum kehutanan. Kebijakan hukum ini terdiri atas dua elemen yakni substansi hukum dan struktur hukum. Aturan hukum yang tumpang tindih berimplikasi pada ketidakjelasan wewenang dalam pengamanan hutan dan ketentuan mengenai konversi hutan. Hal ini dapat dilihat pada disharmonisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pola pengamanan hutan, baik dalam aturan yang bersifat vertikal maupun yang bersifat horizontal.

Euforia dari otonomi daerah dalam pemberian izin konversi hutan juga turut memberikan potret kelam dalam deforestasi. Lemahnya kebijakan juga ditandai dengan lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran atas ketentuan-ketentuan di bidang kehutanan. Bahkan disinyalir mafia hutan ini dimotori oleh sejumlah oknum pejabat terkait dan organisasi-organisasi besar.

Perhatian pemerintah terhadap masalah kehutanan terkesan sangat lemah. Hal ini dapat dilihat dari kurangnya tindakan-tindakan nyata untuk melindungi hutan dan merehabilitasi hutan melalui upaya-upaya konservasi. Pembukaan kawasan hutan untuk daerah pertambangan justru melemahkan komitmen pemerintah dalam menekan emisi dan laju deforestasi. Amandemen Pasal 38 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dengan UU No.19 Tahun 2004 telah meloloskan 13 jenis usaha pertambangan yang berpotensi melepas karbon sebesar 185 - 251 juta ton. Hal ini menunjukkan dominasi kepentingan pengusaha atas penerapan kebijakan pelepasan kawasan hutan daripada usaha-usaha dalam pelestarian hutan.

Deforestasi perlu diatasi dengan menerapkan langkah-langkah bijak yang eco-oriented, baik melalui tahapan perencanaan maupun dalam tahapan pengendalian. Inventarisasi hutan merupakan salah satu upaya dalam mencegah deforestasi tersebut. Secara teknis inventarisasi kehutanan ini dapat diimplementasikan melalui manajemen hutan lestari yang meliputi penilaian kualitas dan kuantitas sumber daya hutan yang tersedia, baik dalam bentuk sumber daya kayu, sumber daya nonkayu serta aspek-aspek lain yang terintegrasi pada hutan seperti air, tanah dan satwa yang berada di dalam kawasan hutan. Dengan adanya inventarisasi maka akan diketahui mengenai potensi-potensi yang terdapat di dalam hutan.

Dari aspek kuantitas, dengan adanya inventarisasi kehutanan maka akan diketahui jumlah sumber daya hutan yang artinya jika ada satu saja kehilangan atas sumber daya hutan tersebut akan sangat mudah untuk diketahui dan ditindaklanjuti.

Manajemen hutan lestari pada dasarnya memberikan kontribusi bagi pembangunan hutan yang berkelanjutan dengan mensinergikan aspek lingkungan hidup, ekonomi dan sosial. Manajemen hutan lestari ini disusun dalam rangkaian kerangka kerja hukum dan kebijakan yang meliputi pemenuhan persyaratan sebagaimana yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan, hak dan kewajiban dalam pemilikan dan pemanfaatan hutan serta kebijakan dan tanggung jawab organisasi kehutanan. Selain itu juga berpijak pada orientasi produksi optimal hasil-hasil hutan yang berkelanjutan, perlindungan lingkungan yang berkesinambungan serta jaminan atas kesejahteraan masyarakat. Sehingga, untuk memperbaiki pengelolaan hutan, segala kegiatan yang dilakukan harus sesuai dengan standar-standar dalam manajemen hutan lestari.

Penegakan hukum bagi mafia hutan ini adalah hal mutlak yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Penegakan hukum ini ditujukan pada master mind dari mafia kehutanan yang diduga merupakan afiliasi dari korporasi, pejabat yang mengeluarkan izin tingkat nasional dan daerah yang melakukan penyelundupan hukum untuk meloloskan izin atau konsensi tertentu, atau aktor penegak hukum yang bekerja sama dengan korporasi dan pejabat negara/daerah. Untuk mengoptimalisasi penegakan hukum ini, aparat penegak hukum dapat berkoordinasi dengan masyarakat di sekitar hutan. Dengan langkah-langkah tersebut maka sedapat mungkin mafia hutan dapat diberantas.



Penulis, dosen beberapa PTS di Denpasar

Jumat, 14 Mei 2010

OPTIMALISASI MEDIA INTERNET SEBAGAI SARANA KAMPANYE PENGENDALIAN TEMBAKAU DAN KONSUMSI ROKOK

Oleh: Dewi Bunga

Merokok seakan menjadi budaya dan gaya hidup bagi masyarakat dalam pergaulan apalagi bagi kaum laki-laki. Mulai dari mencoba-coba hingga akhirnya menjadi ketergantungan. Eskalasi merokok dan konsumsi tembakau oleh anak-anak dan remaja di seluruh dunia terutama merokok pada usia muda cenderung meningkat. Kebiasaan ini sebenarnya bukan hanya merugikan kesehatan dari para perokok melainkan juga merugikan orang-orang di sekitarnya. Setiap perokok setidaknya telah memfiksasi ± 200 gas beracun yang terkandung di dalam setiap batangnya. Penelitian menunjukkan adanya bahaya dari secondhand-smoke, yaitu asap yang dikeluarkan dari paru-paru perokok atau asap yang timbul pada pembakaran akhir rokok atau biasa disebut juga dengan perokok pasif. Bahkan perokok pasif lebih beresiko terserang penyakit jantung daripada perokok aktif. Hal ini disebabkan karena serangan yang merasuk pada sistem kardiovaskuler. Mereka yang dikelilingi oleh asap rokok akan lebih cepat meninggal dibanding mereka yang hidup dengan udara bersih. Dan angka kematiannya meningkat 15% lebih tinggi.

Dari penelitian terhadap 1.263 pasien kanker paru-paru yang tidak pernah merokok, terlihat bahwa mereka yang menjadi perokok pasif di rumah akan meningkatkan risiko kanker paru-paru hingga 18%. Bila hal ini terjadi dalam waktu yang lama, 30 tahun lebih, risikonya meningkat menjadi 23%. Bila menjadi perokok pasif di lingkungan kerja atau kehidupan sosial, risiko kanker paru-paru akan meningkat menjadi 16% sedang bila berlangsung lama, hingga 20 tahun lebih, akan meningkat lagi risikonya menjadi 27%.

Peningkatan kuantitas dan kualitas perokok tidak dapat dilepaskan dari iklan-iklan rokok di indonesia yang terkesan lunak dan persuasif. Dalam Ketentuan Pasal 46 ayat (3) c Undang-undang nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran disebutkan bahwa “Siaran iklan niaga dilarang melakukan promosi rokok yang memperagakan wujud rokok.” Ketentuan tersebut sangat sedikit menyinggung isu substansial iklan rokok yang saat ini justru semakin berani menunjukkan eksistensinya bahkan menggaet ikon anak muda dalam mempromosikan produknya.

Promosi rokok yang begitu menggeliat harus diimbangi dengan kampanye pengendalian tembakau dan konsumsi rokok yang lebih persuasif dan komunikatif pula. Kampanye layaknya lebih ditujukan pada generasi muda yang belum pernah mencoba rokok. Salah satu media yang dapat digunakan untuk kampanye pengendalian tembakau dan konsumsi rokok ini adalah melalui produk-produk teknologi. Konvergensi antara teknologi komunikasi, media dan komputer menghasilkan sarana baru yang disebut dengan internet. Internet merupakan jaringan komunikasi digital yang terbukti ampuh dalam membangun opini publik. Dengan pemanfaatan media ini maka masyarakat khususnya generasi muda dapat mengetahui lebih mendalam mengenai bahaya rokok sehingga akan berpikir ulang untuk mencobanya.

Urgensi Pembatasan Rokok di Negara Berkembang
Peringatan hari bebas tembakau sedunia yang diperingati setiap tanggal 31 Mei menjadi momentum yang mengindikasikan betapa besarnya perhatian dunia internasional akan permasalahan ini. Berbagai pemecahan masalah (problem solving) yang ditawarkan baik bersifat preemtif, preventif dan represif menjadi gambaran yang memberikan titik awal untuk setidak-tidaknya mampu menghalau akibat negatif dari rokok. Upaya ini secara lugas ditujukan bagi negara-negara berkembang. Organisasi kesehatan dunia di bawah naungan PBB, WHO, memberikan peringatan bahwa dalam dekade 2020-2030 tembakau akan membunuh 10 juta orang per tahun, 70% di antaranya terjadi di negara-negara berkembang.

Estimasi yang dilontarkan oleh WHO ini dapat dipahami melalui data empiris yang terjadi di negara-negara berkembang. Adapun hal tersebut dapat dirinci sebagai berikut:

1. Di negara-negara berkembang substansi hukum yang mengatur mengenai pembatasan rokok masih sangat lemah. Konflik norma, norma kabur dan norma kosong mengenai pengaturan rokok menjadi akar masalah dalam penegakan hukumnya. Meskipun Indonesia bertindak sebagai inisiator dalam Framework Convention on Tobacco Control , namun hingga kini Indonesia belum meratifikasi perjanjian internasional tersebut. Pengaturan mengenai pengendalian tembakau yang tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan hanya mengabsorbsi sebagian kecil dari ketentuan-ketentuan dalam instrumen internasional yang mengatur mengenai hal tersebut. Sehingga dalam banyak hal terjadi kekosongan norma. Kekosongan norma memerlukan suatu legal divice yakni melalui rechtvinding. Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati dalam bukunya yang berjudul Argumentasi Hukum mengemukakan bahwa rechtvinding berkaitan dengan norma yang terdapat dalam satu ketentuan Undang-undang. Rechtvinding dibutuhkan karena konsep norma yang terbuka (open texture) dan norma yang kabur (vague norm).

2. Paradigma pemerintah memandang rokok sebagai sebagai sumber pemasukan negara. Perjuangan ekonomi yang dilakukan hanya berorientasi pada pemikiran bahwa rokok adalah sumber cukai terbesar bagi negara tanpa memperhatikan dampak yang ditimbulkan dari rokok. Suatu hal yang membedakan antara negara maju dengan negara berkembang adalah orientasi dalam pembangunan berkelanjutan, dimana negara berkembang lebih terpaku pada pembangunan ekonomi sedangkan negara maju lebih memperhatikan lingkungan hidup. Sehingga ada benarnya ketika ahli hukum dari negara sosialis menyatakan bahwa HAM sipil dan politik baru terpenuhi ketika HAM ekonomi, sosial dan budaya sudah didapatkan. Sejak 1 Januari 2010 tarif cukai rokok akan naik bervariasi dari sekitar Rp 15 hingga Rp 35 per batang. Target cukai rokok pada tahun 2010 ini kembali naik. Direktorat Cukai menaikkan target hingga Rp 57,280 trilyun dan realisasinya sebesar 106 persen. Namun di balik kemapanan ekonomi yang didapatkan, Indonesia harus mempertaruhkan masa depan generasi mudanya.

3. Kesadaran hukum dan kepatuhan hukum masyarakat di negara berkembang yang sangat memprihatinkan. Untuk mengukur efektivitas bekerjanya hukum dalam masyarakat maka salah satu indikator yang digunakan adalah kesadaran hukum dan kepatuhan hukum. Ewick dan Silbey menyatakan bahwa “the term ‘legal consciouness is used by social scientists to refer to the ways in which people make sense of law and legal institutions, that is, the understandings which give meaning to people’s experiences and actions.” Kesadaran hukum dimaknai bahwa hukum adalah perilaku bukan sebagai suatu aturan. Kesadaran hukum yang ditunjukkan oleh melalui perilaku masyarakat menunjukkan kepatuhan masyarakat terhadap hukum. Kepatuhan hukum dalam masyarakat hendaknya bersifat internalization sehingga seseorang yang menaati aturan karena benar-benar yakin bahwa aturan tersebut sesuai dengan nilai-nilai intrinsik yang dianutnya. Kesadaran hukum dan ketaaan hukum di Indonesia masih sangat lemah dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Kultur masyarakat yang tidak disiplin tercermin dari pemandangan dimana banyak orang yang merokok di kawasan bebas rokok bahkan di dalam ruangan ber-AC. Hal ini tentu tidak akan ditemui di negara-negara maju seperti Jerman, AS, Singapura dan sebagainya. Mengenai hal ini Hari Chand dalam Modern Jurisprudence menyatakan “The modern state probably secures observance of laws, amongst other things, by keeping the masses in the dark about its real deeds.

4. Penegakan hukum yang tidak konsisten. Penegakan hukum membutuhkan sebentuk kekuasaan yang dapat menjamin kepastian hukum, untuk itulah elemen sanksi menjadi unsur yang fundamen dalam penegakan hukum. H.L.A Hart dalam bukunya The Concept of Law memandang bahwa force of coercion is a means for the realization of law rather than an essential feature of the concept of law itself (kekuasaan atau paksaan merupakan suatu sarana untuk merealisasikan hukum, ketimbang hanya sebagai suatu ciri esensial dari hukum itu sendiri). Indonesia memang telah memiliki aturan mengenai pengendalian tembakau namun penegakan hukum terhadap aturan ini sangat lemah bahkan hampir tidak ada. Kebijakan mengenai kawasan bebas rokok hanya sekedar wacana saja, tidak ada penjatuhan sanksi sama sekali bagi pelanggarnya.

Konfigurasi Kampanye Pengendalian Tembakau dan Konsumsi Rokok
Informasi adalah komoditi utama dalam era informasi (information age) yang memberikan pemaknaan bagi setiap pesan. Shanon dan Weaver memandang bahwa informasi adalah the amount of uncertainty that is reduced when a received. Diskursus mengenai informasi selalu berkaitan dengan hak asasi manusia yakni hak atas informasi dan komunikasi. Hak atas informasi dan komunikasi secara internasional telah diakui dan diatur dalam Universal Declaration of Human Right. Hak asasi dan kewajiban asasi manusia dalam konteks keberadaan hak atas informasi dan komunikasi bukan hanya mempersoalkan mengenai siapa yang berhak atas informasi tetapi juga siapa yang bertanggungjawab atas informasi (information liability).

Di era globalisasi, informasi ditransmisikan melalui sarana komunikasi digital yang dapat dilakukan di tempat yang terpisah. Salah satu media komunikasi digital yang kini tengah mewabah di berbagai belahan dunia adalah penggunaan media internet. Kampanye melalui media internet harus memiliki human interest yang tinggi. Hal ini dapat dilakukan dengan memakai bahasa visual yang merepresentasikan pemahaman bahasa melalui bentuk ikon, simbol, dan bahasa tubuh yang semuanya dapat dirangkai menjadi suatu bahasa visual. Kampanye yang dilakukan melalui media internet diharapkan dapat menjaring netizen (sebutan bagi masyarakat di dunia maya) untuk mengetahui, memahami bahkan berorientasi untuk menjauhi rokok.

Daya tarik media komunikasi sesungguhnya tidak lepas dari tiga aspek penting yakni informatif, pilihan kata dan visualisasi serta menimbulkan respon dari pirsawan. Untuk dapat memberikan informasi yang tepat maka diperlukan perumusan bahasa melalui kalimat-kalimat yang sederhana, singkat dan lugas. Pilihan kata juga menjadi perhatian penting dalam penyampaian informasi. Pilihan kata yang terlalu berat dan majemuk perlu dihindari. Visualiasi mengenai bahaya rokok juga perlu dilakukan, misalnya dengan membahasakan kerusakan-kerusakan organ tubuh yang diakibatkan oleh rokok melalui tayangan gambar atau video. Gerakan kampanye melalui media internet dapat dikatakan informatif dan menarik jika netizen memberikan respon terhadap kampanye tersebut. Jika kampanye dilakukan melalui media facebook maka feedback dapat dilihat dari komentar-komentar dari para facebooker.

Konfigurasi kampanye dapat mengambil format yang persuasif. Materi yang disajikan berupa informasi mengenai gambaran mengenai kebiasaan merokok serta dampak positif dan negatif dari rokok. Dengan demikian netizen dapat memutuskan sendiri mengenai sikap yang dipilihnya terhadap rokok tersebut. Kampanye pun tidak bersifat menggurui atau melarang melainkan memberikan pertimbangan sebagai dasar pengambilan keputusan dalam hidup. Seraya mengkritik konsep berpikir Barat yang rasional, logis dan terikat pada aturan, Zohar dan Marshall mengatakan berpikir bukan hanya urusan IQ, melainkan juga berpikir dengan perasaan-perasaan dan tubuh (EQ), juga dengan nurani (spirit), pandangan (visions), harapan (hopes), tentang makna (sense of meaning) dan nilai (SQ).

Penyampaian informasi melalui media internet terbukti efektif dalam menyampaikan informasi kepada para netizen, apalagi media ini lebih banyak dimanfaatkan oleh anak muda yang menjadi sasaran utama dari kampanye tersebut.

KENAIKAN CUKAI ROKOK SEBAGAI BEAUTY STRATEGY DALAM PROGRESITAS PENERIMAAN NEGARA

OLEH: DEWI BUNGA

Perkembangan industri rokok menjadi suatu hal yang diperdebatkan tatkala dihadapkan dengan dua kepentingan besar yakni ekonomi dan kesehatan. Tak dapat dipungkiri bahwa industri rokok memiliki peranan yang sangat besar dalam memberikan kontribusi terhadap pendapatan negara. Pada tahun 2008, industri ini memberikan pemasukan sebesar Rp 51,21 triliun. Peningkatan pendapatan negara dari cukai rokok diestimasi akan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Perkembangan ini juga ditunjang dengan tingkat konsumsi rokok Indonesia yang mendapat peringkat ke-3 di dunia pada tahun 2008.

Dalam kurun waktu tiga bulan (Januari hingga Maret 2010), Menteri Keuangan menyatakan bahwa pemasukan dari cukai rokok telah mencapai 22,26 % dari target APBN 2010. Berdasarkan data dari Ditjen Bea dan Cukai, target penerimaan cukai dalam APBN 2010 adalah Rp 57,29 triliun. Penerimaan negara dari cukai rokok ini jauh melampaui industri lainnya bahkan mengalahkan industri pertambangan emas sekalipun. Realisasi penerimaan bea masuk hingga Maret 2010 telah mencapai 18,98 % dari target APBN 2010 sebesar Rp 16,5 triliun. Sementara realisasi penerimaan bea keluar mencapai 5,3 % dari target APBN 2010 sebesar Rp 7,6 triliun.

Industri rokok disamping memberikan pemasukan yang signifikan bagi pendapatan negara juga memberikan penghidupan yang begitu besar bagi masyarakat. Jumlah pabrik rokok di Indonesia yang mencapai 4416 pabrik telah menampung ratusan ribu tenaga kerja yang menggantungkan hidupnya pada sektor ini. Dilihat dari pertumbuhan penyerapan tenaga kerja, secara keseluruhan penyerapan tenaga kerja industri rokok tumbuh sebesar 2,69 % per tahun (Tri Wibowo, 2003: 90). Pertumbuhan industri rokok di tanah air tidak lepas dari tingginya tingkat konsumsi perokok aktif. Data yang dikeluarkan oleh BPS pada tahun 2006 menyebutkan bahwa pengeluaran rumah tangga untuk rokok jauh lebih besar dari pengeluaran untuk kebutuhan dasar rumah tangga lainnya yakni mencapai 12 % dari total pendapatan di keluarga tersebut. Hasil penelitian Lembaga Demografi FE UI pada tahun 2008 bahkan menunjukkan bahwa pengeluaran untuk pembelian rokok buatan pabrik rata-rata Rp 3.545,00 per hari atau seperempat dari penghasilan hariannya sebagai buruh tani. Pengeluaran untuk rokok lebih dari 5 kali lipat pengeluaran untuk makanan bergizi. Dilihat dari proporsi total pengeluaran bulanan, belanja rokok mencapai lebih dari 3 kali pengeluaran untuk pendidikan (3,2%) dan hampir 4 kali lipat pengeluaran untuk kesehatan (2,7%) (Ridwan Amiruddin, 2010, http://ridwanamiruddin.wordpress.com/2010/02/06/strategi-pengendalian-rokok/).

Laporan sebagaimana yang ditulis surabaya-ehealth.org/ mencatat 800 juta dari 1,2 miliar perokok dunia berasal dari negara berkembang. Dari jumlah tersebut termasuk jumlah perokok anak. Prevalensi anak yang merokok di Indonesia diperkirakan mencapai 25,9 juta atau sekitar 37 %. Data di tahun 2004 menunjukkan anak mulai merokok pada usia 5 tahun. Tingkat konsumsi rokok terbesar berada pada usia produktif yakni 25-64 tahun dengan persentase 29% sampai 32%.

Meskipun industri rokok menjadi pilar kokoh dalam roda perekonomian bangsa namun bahaya konsumsi rokok tidak boleh dilupakan. Pertumbuhan ekonomi yang diberikan oleh industri ini harus ditukar dengan penurunan kualitas hidup manusia. Badan khusus PBB yang menangani masalah kesehatan dunia, WHO, bahkan memberikan peringatan bahwa dalam dekade 2020-2030 tembakau akan membunuh 10 juta orang per tahun, 70% di antaranya terjadi di negara-negara berkembang. Serangan ini terjadi melalui beberapa penyakit yang ditimbulkan dari rokok seperti AIDS, jantung, impotensi, paru-paru, infeksi saluran pernafasan, kanker dan sebagainya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengendalikan dampak rokok adalah melalui kenaikan cukai rokok secara progresif.

Pada dasarnya cukai hanya dikenakan terhadap barang-barang yang memiliki sifat dan karakteristik tertentu yakni konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan. Berdasarkan Pasal 5 Undang-undang Nomor 39 tahun 2007 Tentang Cukai disebutkan bahwa tembakau dikenai cukai berdasarkan tarif paling tinggi:
a. untuk yang dibuat di Indonesia:
275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual pabrik; atau 2. 57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.
b. untuk yang diimpor:
275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah nilai pabean ditambah bea masuk; atau 2. 57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.

Berdasarkan Peraturan Menkeu No. 118/ PMK. 04/2006 tentang kebijakan cukai 2007, mulai 1 Juli 2007, pemerintah menetapkan cukai ganda untuk produk rokok berupa tarif advalorum dengan kenaikan sebesar 7% dan tarif spesifik yang ditetapkan secara bervariasi sesuai jenis rokok antara Rp 3 dan Rp 7 per batang. Kebijakan penaikan cukai terhadap tembakau ini merupakan langkah konkrit dalam membatasi peredaran barang-barang unhealthy.

Kenaikan cukai rokok secara progresif menjadi salah satu beauty strategy dalam progresitas penerimaan negara (government revenue). Disisi lain kenaikan cukai dapat meningkatkan harga jual rokok kepada konsumen. Dengan meningkatnya harga rokok maka kelompok kolektif seperti remaja, anak-anak dan orang-orang yang berpenghasilan minim tidak akan membeli rokok atau setidak-tidaknya mengurangi konsumsi rokok per harinya. Sehingga alokasi dana rumah tangga untuk kesehatan, pangan dan pendidikan akan semakin meningkat. Bank Dunia menyimpulkan bahwa kenaikan harga produk tembakau sebesar 10% akan menurunkan tingkat permintaan global sebesar rata-rata 4-8%, dan dapat mencegah paling sedikit 10 juta kematian yang berhubungan dengan tembakau.

Kenaikan cukai ini harus didasarkan pada kerangka kerja (framework) yang jelas. Untuk itu diperlukan dua hal penting yang harus mendapatkan perhatian khusus yakni audit cukai dan penegakan hukum (law enforcement). Audit cukai adalah serangkaian kegiatan pemeriksaan laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan dokumen lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk data elektronik, serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang cukai dan/atau sediaan barang dalam rangka pelaksanaan ketentuan perundang-undangan di bidang cukai. Jika dalam audit cukai ditemukan penyimpangan-penyimpangan maka diperlukan penegakan hukum yang konsisten yang dapat menjerat para pelaku sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Rabu, 12 Mei 2010

SISTEM HUKUM MENURUT MARC ANCEL

Mempelajari stelsel hukum dunia merupakan hal yang sangat penting dalam mengungkapkan unsur-unsur persamaan dan perbedaan dari berbagai sistem hukum yang berlaku dewasa ini. Marc Ancel membedakan sistem hukum dunia menjadi 5 jenis hukum yang dikelompokkan dalam satu keluarga berdasarkan asal-usulnya, sejarah perkembangannya serta metode penerapannya (their origin, their historis development and their methods of application).

Stelsel Hukum Civil Law
Pada mulanya negara Eropa tergabung pada sistem Eropa Kontinental. Ciri khusus dari stelsel hukum Eropa Kontinental atau civil law yakni:
1. Hukum merupakan produk legislatif.
2. Hukum adalah peraturan perundang-undangan.
3. Sangat dipengaruhi oleh persepsi hukum romawi.
4. Semua sistem hukum Eropa Kontinental atau civil law dikodifikasi dalam suatu peraturan perundang-undangan.
5. Keputusan pengadilan dalam sistem hukum kontinental atau civil law bukan sumber hukum yang pertama tetapi hanya keterangan mengenai hukum.
6. Dalam commom law memberi tempat yang sangat penting pada pengadilan sedangkan pada sistem Eropa Kontinental atau civil law tidak demikian, hukum tidak hanya penuntutan tetapi sebagaian besar mengenai fungsi umumnya.
7. Dualisme hukum kebiasaan dan kepatutan sebagaimana dalam commom law tidak dikenal dalam sistem hukum Eropa Kontinental atau civil law.
8. Semua sistem civil law berbeda dalam substansi dan prosedur antara hukum perdata dengan hukum administrasi.

Stelsel Hukum Common Law
Sistem hukum commom law mulanya berasal dari kebiasaan di Inggris kemudian berkembang sejak abad XI. Sistem hukum commom law dikenal juga dengan istilah Anglo Saxon atau Anglo Amerika. Pada dasarnya sistem hukum ini menekankan pada unwritten law. Sistem hukum commom law mempunyai ciri-ciri:
1. Sebagian hukum commom law adalah hasil dari pertumbuhan historis yang terlaksana secara bertahap sehingga masih mempunyai dan menunjukkan unsur-unsur feodalnya.
2. Putusan pengadilan dalam sistem hukum commom law adalah salah satu sumber hukum yang sangat penting.
3. Dualisme hukum kebiasaan dalam kepatutan dengan sistem hukum commom law yang diakui dan ini tidak dikenal dalam sistem civil law.
4. Semua hukum civil law berbeda dalam substansi dan prosedur dalam hukum perdata dan hukum administratif, hukum commom law menolak pembagian dalam dua bagian ini dan berpegang setidak-tidaknya dalam teori, pada prinsipnya berlaku asas perlakuan yang sama di muka hukum.
5. Sistem hukum commom law memberi tempat yang sangat penting dan istimewa kepada pengadilan.
6. Semua sistem commom law masih menundukkan diri berdasarkan kebiasaan sedangkan dalam sistem hukum civil law semua hukum dikodifikasikan, ada dalam peraturan perundang-undangan dan merupakan produk hukum legislatif.
Dalam sistem hukum commom law hakim di pengadilan dapat membuat hukum sendiri dengan melihat kasus-kasus dan fakta-fakta. Hal ini sering diistilahkan dengan judge made law atau case law. Pada hakikatnya hakim berfungsi sebagai legislatif. Meskipun dalam sistem hukum commom law hakim mengikuti the doctrine of precedent (stare dececis) tetapi dalam penggunaan doktrin tersebut hakim harus mempergunakan ukuran:
1. Setiap perkara harus bersifat einmalig artinya hanya satu kali saja terjadi dan tidak mungkin persis sama dengan perkara-perkara sebelumnya. Dalam hal ini hakim hanya diwajibkan mengikuti the doctrine of precedent bila ada hal-hal yang berhubungan langsung dengan produk perkara (racio decidendi) sedangkan hal-hal yang bersifat tambahan atau ilustrasi (obiter dicta) dapat mengesampingkannya atau menurut keyakinannya.
2. Harus reasonabless yakni harus dilihat dalam rangka sistem hukum yang bersangkutan dalam rangka kemungkinan atau keadilan. Jadi putusan yang terdahulu kalau tidak reasonabless tidak perlu diikuti.
Sistem juri merupakan ciri khas dari commom law yaitu orang-orang sipil yang mendapatkan tugas dari Negara untuk berperan sebagai juri dalam sidang perkara. Juri ditunjuk oleh Negara secara acak dan seharusnya adalah orang-orang yang kedudukannya sangat netral dengan asumsi juri adalah orang awam yang tidak mengetahui sama sekali latar belakang perkara yang disidangkan. Kedua pihak dalam perkara kemudian diberi kesempatan untuk mewawancara dan menentukan juri pilihannya. Seseorang tidak boleh menolak untuk menjadi juri kecuali untuk alasan-alasan tertentu seperti adanya conflict interest atau mengenal terdakwa baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam keluarga sistem common law, keaktifan dituntut datang dari
para hakim. Undang-undang bukanlah sesuatu yang dapat diandalkan oleh mereka dalam menghadapi situasi terberi (given situation) di pengadilan. Dalam pencarian sumber hukum, perhatian mereka pertama-tama tidak tertuju kepada undang-undang, tetapi lebih kepada konstelasi hubungan para pihak yang bersengketa. Sekalipun ada undang-undang yang dapat dijadikan sumber acuan, hakim tetap diberi kesempatan untuk menemukan hukum lain di luar undang-undang, dengan bertitik tolak dari pandangan subjektifnya atas kasus yang dihadapi.
Pada kasus-kasus demikian, hakim dituntut untuk menyelaraskan makna kemanfaatan itu tadi dengan kepentingan masyarakat luas, sehingga tercapai pula dimensi keadilan (Gerechtigkeit) dalamputusannya. Untuk melembagakan semangat berkeadilan inilah, antara lain lalu dihadirkan dewan juri di pengadilan sebagai pranata khas common law. Demikian juga dengan eksistensi pranata equity yang lahir sebagai alternatif dari pengadilan common law. Selanjutnya, agar nilai kepastian hukum juga tercakup dalam putusan hakim, maka asas preseden yang mengikat (the binding force of precedent) diterapkan. Tatkala hakim menjatuhkan putusan, ia dipastikan sudah memperhatikan dengan saksama putusan-putusan sebelumnya yang mengadili kasus serupa. Jika tidak ada alasan yang sangat prinsipil, hakim tersebut tidak dapat mengelak kecuali ia juga menjatuhkan putusan yang secara substantif sama dengan putusan sebelumnya.
Sistem Hukum Timur Tengah
Sistem hukum timur tengah dianut oleh Irak, Yordania, Saudi arabia, Libanon, Siria, Maroko, Sudan. Sistem hukum timur tengah berasal dari agama Islam sehingga disebut dengan stelsel hukum Islam. Stelsel hukum Islam bersumber kepada:
1. Qur’an yaitu kitab suci kaum muslimin yang merupakan wahyu Allah yang diturunkan melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW
2. Hadis yakni ucapan, pesan, perbuatan serta sikap Nabi Muhhamad SAW yang kemudian dijadikan pedoman oleh para pengikutnya.
3. Ijma yaitu kesepakatan para ulama mengenai suatu hukum terhadap sesuatu yang belum diatur pada Al-Qur’an dan al-Hadis Rasullah SAW.
4. Ijtihad para mujtadid terhadap suatu hukum terhadap suatu masalah hukum yang ada hukumnya.
5. Hadis Riwayat Abu Daud.
Sistem hukum Islam mempunyai ciri khas yang berbeda dengan sistem hukum yang lain yakni:
1. Merupakan ketentuan yang tidak berubah yakni takanul yaitu sempurna, bulat dan tuntas.
2. Menempuh jalan tengah, yakni keseimbangan antara kejiwaan dan kebendaan.
3. Kemampuan yang bergerak dan berkembang, mempunyai daya hidup, dapat membentuk diri sesuai dengan perkembangan dan kemajuan.
Salah satu sistem hukum ini dapat dilihat pada tertib Syari'at, Al Quran Surat Al Ahzab ayat 36 mengajarkan bahwa sekiranya Allah dan RasulNya sudah memutuskan suatu perkara, maka umat Islam tidak diperkenankan mengambil ketentuan lain. Oleh sebab itu secara implisit dapat dipahami bahwa jika terdapat suatu perkara yang Allah dan RasulNya belum menetapkan ketentuannya maka umat Islam dapat menentukan sendiri ketetapannya itu. Pemahaman makna ini didukung oleh ayat dalam Surat Al Maidah QS 5:101 yang menyatakan bahwa hal-hal yang tidak dijelaskan ketentuannya sudah dimaafkan Allah. Di dalam sistem hukum Islam ada lima hukm atau kaidah, yang dijadikan sebagai patokan untuk mengukur perbuatan manusia baik beribadah maupun bermuamalah. Kelima jenis kaidah tersebut disebut dengan al-ahkam al-khamsah atau penggolongan hukum yang lima yaitu (1) Wajib, (2) Sunnah, (3) Mubah, (4) Makruh, dan (5) Haram.


Sistem Hukum Timur Jauh
Sistem hukum Timur jauh merupakan sistem hukum yang kompleks yang merupakan perpaduan antara sistem civil law, common law, dan Hukum Islam sebagai basis fundamental masyarakat. Sistem hukum timur jauh ini dianut oleh negara-negara seperti Cina dan Jepang. Sistem hukum timur jauh yang merupakan kompilasi dari beberapa sistem hukum yang ada di dunia ini ketika diimplementasikan dalam budaya hukum masyarakat menunjukkan sifat yang tertutup dan terisolasi. Kompleksitas dari sistem hukum ini menyebabkan sistem hukum ini terlalu berkembang jika dibandingkan dengan sistem hukum anglosaxon dan eropa kontinental.

Stelsel Hukum Sosialis
Sistem hukum sosialis berasal dari hukum Uni Soviet yang dikembangkan sejak 1917, dimana pada tahun ini terjadi Revolusi Oktober yang mengakhiri pemerintah kerajaan Rusia. Hukum ini mengalami penyebaran melalui politik demokrasi rakyat ke negara-negara di Eropa dan Asia. Pokok stelsel hukum sosialis adalah hukum yang dijiwai ajaran unmarxis-Lenimisme yang dianut oleh para pakar hukum di Uni Soviet serta ajaran materialisme dan teori evolusi dimana dikatakan bahwa materi merupakan satu-satunya benda nyata di dunia ini.
R. Sardjono mengatakan hukum di negara-negara sosialis dimaksudkan untuk membangun masyarakat baru, untuk menunjang terjadinya masyarakat baru sesuai dengan ajaran marxisme yang fundamental berlainan dengan keadaan sebelumnya dimana faktor ekonomi merupakan faktor utama dan faktor penentu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam arti bahwa segala sesuatunya harus tunduk kiehendak penguasa yang bertugas memimpin transformasi dari susunan masyarakat lama ke arah terciptanya masyarakat baru yang dijiwai oleh ajaran komunis yang mengutamakan asas kolektivitas dalam bentuknya yang mutlak. Akibatnya hubungan individu menjadi berkurang sebab semuanya menjadi publik. Dengan demikian yang diutamakan adalah kepentingan umum dan kepentingan negara.
Menurut sistem hukum sosialis, hukum merupakan suatu alat untuk menekan kelas tertindas yaitu kepentingan dan ketidakadilan. Hukum yang adil berarti menyerukan suatu ideologi. Fungsi hukum sosialis bukan untuk mengekspresikan konsep keadilan tertentu tetapi mengorganisasi kekuatan-kekuatan ekonomi bangsa dan mentransformasikan tingkah laku dan sikap warga negara. Dengan demikian negara-negara yang mengut sistem hukum sosialis ini hanya mengenal konsep hukum publik sedangkan konsep hukum privat tidak ada. Stelsel hukum sosialis yang berbasis doktrin komunis mengabaikan prinsip-prinsip keadilan dan moral. Doktin hukum sosialis yang berbasis pada doktrin marxisme mengajarkan bahwa hukum sebenarnya adalah suatu struktur yang melayani kepentingan-kepentingan ekonomi. Bagi kaum marxisme hukum adalah alat kebijaksanaan bagi mereka yang memerintah. Hukum yang berlaku di Uni Soviet tidak memiliki nilai absolut pada dirinya.
Ajaran Marxisme Lenisme menolak prinsip pembagian kekuasaan dalam sistem pemerintahannya. Seluruh kekuasaan terkonsentrasi di tangan pemegang kekuasaan tertinggi, kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudisial dijalankan secara eksekutif oleh pemegang kekuasaan tertinggi.

DEFINISI POLITIK, HUKUM DAN POLITIK HUKUM

DEFINISI POLITIK
1. Istilah politik berasal dari bahasa Yunani Polis yang artinya negara (city state) yang terdiri atas adanya rakyat, wilayah dan pemerintah yang berdaulat. Warga negara disebut poletis, politikos untuk menyebut kewarganegaraan, politike techne berarti kemahiran publik, dan ars politica berarti kemahiran tentang soal kenegaraan, sedangkan politike episteme digunakan untuk menyebut ilmu politik. Menurut Aristoteles (Filsuf Yunani) manusia adalah Zoon Politicon, yakni makhluk politik, yaitu hidup dalam suatu wilayah tertentu bersama-sama yang lain dengan saling membantu dibawah suatu pemerintahan yang disetujui bersama.
2. Kata politiek mengandung arti beleid. Kata beleid sendiri dalam bahasa Indonesia berarti kebijakan (policy). Hugo Heglo dalam Said Zainal Abidin menyatakan bahwa kebijakan sebagai “suatu tindakan yang bermaksud mencapai tujuan (goal, end) tertentu (a course of action intended to accomplish some end). Carl Friedrich merinci apa-apa yang pokok dalam suatu kebijakan yaitu adanya tujuan (goal), sasaran (objectives) dan kehendak (purpose). Thomas R. Dye mendefinisikan kebijakan sebagai what government do, why the do it, and what difference it makes. Sedangkan Harold Laswell dan Abraham Kaplan mendefinisikan sebagai a projected program of goals, values, and practices. Tujuan kebijakan pada prinsipnya adalah melakukan intervensi. Oleh karena itu, implementasi kebijakan sebenarnya adalah tindakan (action) intervensi itu sendiri.
3. Istilah politik seringkali diabsorbsi dalam berbagai istilah seperti politics, polity dan policy. Politics adalah kehidupan politik “political life” yang menggambarkan kekuatan-kekuatan politik yang ada dan bagaimana perhubungannya serta bagaimana pengaruh mereka di dalam perumusan dokumen-dokumen kebijaksanaan politik. Polity adalah sistem ketatanegaraan termasuk sistem pemerintahan negara sedangkan policy ditafsirkan menjadi kebijakan.
4. Politik adalah seni mengatur dan mengurus negara dan ilmu kenegaraan. Kegiatan politik adalah suatu kegiatan yang sarat dengan aktivitas politik.
5. Menurut Yuwono Sudarsono, politik adalah proses hidup yang serba hadir dalam setiap lingkungan sosial budaya.
6. Berbicara mengenai politik demikian lazimnya anggapan orang adalah berbicara mengenai naluri kekuasaan yang dibenarkan secara sosial. Dalam negara yang menganut paham demokrasi dan kedaulatan rakyat, kekuasaan adalah bersumber dari rakyat dan diberikan kepada sekelompok orang untuk menjalankan pemerintahan.Pemahaman politik dapat dilakukan melalui sistem politik yang dianut oleh suatu negara. Menurut Almon, politik memiliki berbagai macam fungsi yang meliputi:
1. Fungsi input (dilakukan infrastruktur politik) yang mencakup:
 Sosialisasi dan rekrutmen politik.
 Agregasi kepentingan.
 Artikulasi kepentingan.
 Komunikasi politik.
2. Fungsi output mencakup:
 Rule making (pembuatan peraturan).
 Rule application (pelaksanan peraturan).
 Rule adjudication (peradilan).
 Politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat.

7. Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya Dalila negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik. Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:
a. politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)
b. politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
c. politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
d. politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Dari berbagai definisi politik tersebut maka dapat ditarik beberapa unsur-unsur dari politik yakni:
• suatu tindakan, usaha, proses atau kegiatan
• untuk mencapai tujuan (goal, end) tertentu (a course of action intended to accomplish some end), (goal), sasaran (objectives), values, practices dan kehendak (purpose).
• mengatur dan mengurus negara dan ilmu kenegaraan
• diwujudkan dalam pembuatan keputusan
Ada begitu banyak definisi tentang politik yang diuraikan oleh para praktisi politik, namun dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa politik suatu tindakan, usaha, proses atau kegiatan untuk mencapai tujuan (goal, end) tertentu (a course of action intended to accomplish some end), (goal), sasaran (objectives), values, practices dan kehendak (purpose) dalam rangka mengatur dan mengurus negara dan ilmu kenegaraanyang lazimnya diwujudkan dalam pembuatan keputusan untuk menciptakan pembangunan di segala bidang demi kepentingan masyarakat.

DEFINISI HUKUM
1. Aristoteles, laws are something different from what regulates and expresses the form of the constitution, it is their function to direct the conduct of the magistrate in the execution of his office and the punishment of offenders (hukum adalah sesuatu yang berbeda ketimbang sekadar mengatur dan mengekspresikan bentuk dari konstitusi; hukum berfungsi untuk mengatur tingkah laku para hakim dan putusannya di pengadilan dan untuk menjatuhkan hukuman terhadap pelanggar.)
2. Thomas Aquinas, law is a rule and measuresof acts. Whereby man is induced to act or is restained from acting; for lex (law) is derived from ligare (to bind), because it binds one to act... law is nothing else than a rational ordering of things which concern the common good, promulgated by whoever is charged with the care of the community (hukum adalah suatu aturan atau ukuran dari tindakan-tindakan, dalam hal mana manusia dirangsang untuk bertindak (sesuai aturan atau ukuran itu), atau dikekang untuk tidak bertindak (yang tidak sesuai dengan aturan atau ukuran itu). Sebagaimana diketahui, perkataan lex (law, hukum), adalah berasal dari kata ligare (mengikat), sebab ia mengikat seseorang untuk bertindak (menurut aturan atau ukuran tertentu). Hukum tidak lain merupakan perintah rasional tentang sesuatu, yang memerhatikan hal-hal umum yang baik, disebarluaskan melalui perintah yang diperhatikan oleh masyarakat.
3. Thomas Hobbes, The civil laws are the command of him who is endued with supreme power in the city concerning the future actions of his subjects. (civil law adalah perintah-perintah hukum yang didukung oleh kekuasaan tertinggi di negara itu, mengenai tindakan-tindakan di masa datang yang akan dilakukan oleh subjeknya).
4. John Locke, the laws that men generally refer their actions to, to judge of their rectitude or obliquity, seem to me to be these three:
a. The divine laws
b. Civil law
c. The law of opinion or reputation
By the relation they hear to the first of these, men judge whether their actions are sins or duties; by second, whether they be criminal or innocent; and by the third, whether they virtues or vices.
(hukum adalah sesuatu yang ditentukan oleh warga masyarakat pada umumnya, tentang tindakan-tindakan mereka, untuk menilai/ mengadili, mana yang merupakan perbuatan yang jujur dan mana yang merupakan perbuatan yang curang. Dalam pandangan saya (Locke), hukum itu terdiri dari tiga jenis:
a. Hukum agama
b. Hukum negara
c. Hukum opini atau reputasi
Hukum agama menilai, mana tindakan yang berdosa dan mana tindakan yang wajib dilakukan. Hukum negara menilai mana tindakan kriminal dan mana tindakan yang bukan tindakan kriminal. Hukum opini atau reputasi menilai mana tindakan yang luhur dan mana tindakan yang buruk (secara kesusilaan).
5. Hooker, a law is properly that which in reason in some sort defineth to be good that it must be done.
6. Hugo Grotius, law is a rule of moral action obliging to that which is right (hukum adalah suatu aturan tindakan moral yang sesuai dengan apa yang benar).
7. Marcus Tullius Cicero, law is the highest reason implanted in nature, which prescribes those things which ought to be done, and forbids the contrary (hukum adalah alasan tertinggi yang ditanamkan di alam, yang memerintahkan apa yang seharusnya dilakukan dan melarang apa kebalikannya).
8. Demosthenes, every law is an invention and gift of the Gods (setiap hukum adalah suatu ciptaan dan hadiah Tuhan).
9. Amos, a command proceeding from the supreme political authority of a state and addressed to the person who are the subjects of that authority (suatu perintah yang dikeluarkan oleh penguasa politik tertinggi dari suatu negara, dan ditujukan terhadap personal yang menjadi subjek kekuasaannya).
10. Garies, law in the objective sense of the term is a peaceable ordering of the external relations of men and their relations to each other (hukum secara objektif adalah suatu tata damai dari hubungan eksternal manusia, dalam hubungan mereka satu sama lain).
11. William Blackstone, law is rule of action prescribed or dictated by some superior which some inferior is bound to obey (hukum adalah suatu aturan tindakan-tindakan yang ditentukan oleh orang-orang yang berkuasa, bagi orang-orang yang dikuasai, untuk ditaati).
12. Wortley, law is the collective term for the rules of conduct for men living in a legal order. An effective system of law is one where the rules are likely to be followed (hukum adalah istilah kolektif bagi aturan-aturan tingkah laku manusia yang berbeda di dalam suatu tertib hukum. Dan suatu sistem hukum yang efektif adalah jika aturan-aturannya ditaati).
13. Goodhart, those rules of conduct on which the existence of society is based and violation of which tends to invalidate its existence (hukum adalah aturan-aturan tingkah laku dimana diatasnyalah eksistensi masyarakat itu didasarkan dan pemerkosaan atau pelanggaran terhadap aturan-aturan tingkah laku itu, pada dasarnya menghapuskan eksistensi itu).
14. Hans Kelsen, law is a coercive order of human behaviour , it is the primary norm which stipulates the sanction (hukum adalah suatu perintah memaksa terhadap perilaku manusia. Hukum adalah norma primer yang menetapkan sanksi-sanksi).
15. Shebanov, law is the legislative instrument of a higher agency of state power, adopted in a prescribed manner and possessing a highest legal force in relation to instrument of state agencies and social organizations (hukum adalah alat legislatif, yaitu alat kekuasaan tertinggi dari negara yang digunakan di dalam suatu cara yang menentukan dan memiliki kekuasaan yang tinggi di bidang hukum, dalam hubungannya dengan alat-alat pejabat negara lainnya dan organisasi sosial).
16. P. Borst menyatakan bahwa hukum adalah aturan atau norma yaitu petunjuk atau pedoman hidup yang wajib ditaati oleh manusia.
17. Ronald. M. Dworkin, the law of community directly or indirectly for the purpose of determining which behavior will be punished or enforced by the public power, these special rules can be identified and distinguished by specific criteria, by test having to do not with their content but with their pedigree or the manner in which they were adopted or develop (hukum dari suatu masyarakat adalah seperangkat aturan-aturan khusus yang digunakan oleh masyarakat tersebut, baik langsung ataupun tidak langsung untuk tujuan-tujuan yang menentukan perilaku mana yang dapat dihukum atau perilaku mana yang dapat diidentifikasi dan dibedakan dengan menggunakan kriteria yang spesifik, dengan tidak menguji pada isinya, melainkan pada asal usul atau dengan cara apa ia dipakai atau dikembangkan).
18. Roscoe Pound, law in the sense of the legal order has for its subject relation of individual human beings with each other and the conduct of individuals so far as they affect others affect the social or economic order. Law in the sense of the body of authoritative grounds of judicial decision and administrative action has for its subject matter the expectation or claims or wants held orasserted by individual human beings or groups of human beings which affect their relations or determine their conduct (hukum adalah makna sebagai tertib hukum, yang mempunyai subjek, hubungan individual antar manusia satu sama lain dan perilaku individual yang memengaruhi individu lain atau memengaruhi tata sosial atau tata ekonomi. Sedangan hukum dalam makna kumpulan dasar-dasar kewenangan dari putusan-putusan pengadilan dan tindakan administratif, mempunyai subjek berupa harapan-harapan atau tuntutan-tuntutan oleh manusia sebagai individu ataupun kelompok-kelompok manusia yang memengaruhi hubungan mereka atau menentukan perilaku mereka.
19. Philippe Nonet, law is not what lawyers regard as binding or obligatory precepts, but rather, for example, the observable dispositions of judges, policemen, prosecutors or administrative officials (hukum bukan apa yang oleh pengacara dianggap sebagai konsep-konsep yang mengikat, tetapi hukum lebih merupakan disposisi-disposisi yang dapat diamati tentang para hakim, para polisi, para penuntut umum dan pejabat administrasi.
20. Rudolf von Jhering, law is the sum of the conditions of social life in the widest sense of the term, as secured by the power of the states through the means of external compulsion (hukum adalah sejumlah kondisi kehidupan sosial dalam makna luas, yang dijamin oleh kekuasaan negara, melalui cara paksaan yang bersifat eksternal).

Dari berbagai definisi hukum tersebut maka dapat ditarik beberapa unsur-unsur dari hukum yakni:
• seperangkat aturan-aturan khusus
• petunjuk atau pedoman hidup
• dijamin oleh kekuasaan negara
• yang mempunyai subjek
• memaksa
• mengikat seseorang untuk bertindak
• menetapkan sanksi-sanksi
• berfungsi untuk mengatur tingkah laku masyarakat dan penegak hukum
Dengan demikian yang dimaksud dengan hukum adalah seperangkat aturan-aturan khusus yang mendapat legitimasi dari negara sehingga menjadi petunjuk atau pedoman hidup yang memiliki subjek, memaksa serta mengikat untuk mengatur tingkah laku manusia dalam masyarakat dan penegak hukum yang atas pelanggarannya dikenakan sanksi.

DEFINISI POLITIK HUKUM
1. Perspektif Etimologis
Secara etimogis istilah politik hukum merupakan terjemahan dari rechtspolitiek yang terdiri atas dua kata yakni recht dan politiek. Istilah rechtspolitiek sering dirancukan dengan politieekrecht yang berarti hukum politik. Menurut Hence van Maarseveen istilah politieekrecht merujuk pada istilah hukum tata negara. Politik hukum secara singkat berarti kebijakan hukum, selanjutnya dikatakan politik hukum adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak dalam bidang hukum. Secara etimologis politik hukum secara singkat berarti kebijaksanaan hukum.
2. Perspektif Terminologis
Pendefinisian secara etimologis ternyata belum memberikan gambaran yang komprehensif mengenai politik hukum. Oleh sebab itu diperlukan pendefinisian dari beberapa ahli seperti:
a. Padmo Wahjono, politik hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi hukum yang akan dibentuk.
b. Teuku Mohammad Radjie mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.
c. Soedarto, politik hukum adalah kebijakan dari negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendak, yang diperkirakan akan digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Dalam buku lain Soedarto juga mendefinisikan politik hukum sebagai usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.
d. Satjipto Rahardjo, Satjipto mengutip pendapat parson dan kemudian mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat.
e. Sunaryati Hartono, Sunaryati Hartono tidak mendefinisikan politik hukum secara eksplisif, beliau mengatakan politik hukum sebagai sebuah alat (tool) atau sarana dan langkah yang dapat digunakan pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional yang dikehendaki dan dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia. Sunaryati Hartono menitikberatkan politik hukum dalam dimensi ius contituendum.
f. Abdul Hakim Garuda Nusantara mengemukakan politik hukum nasional secara harfiah dapat diartikan sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh suatu pemerintahan negara tertentu. Definisi yang disampaikan Abdul Hakim Garuda Nusantara merupakan definisi yang paling komprehensif yang merinci mengenai wilayah kerja politik hukum yang meliputi teritorial berlakunya politik hukum dan proses pembaruan dan pembuatan hukum yang mengarah pada sifat kritis terhadap hukum yang berdimensi ius constitutum dan menciptakan hukum yang berdimensi ius constituendum. Selanjutnya ditegaskan pula mengenai fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum, suatu hal yang tidak disinggung oleh para ahli sebelumnya.
g. Politik hukum bersifat lokal dan partikular yang hanya berlaku dari dan untuk negara tertentu saja. Hal ini disebabkan karena perbedaan latar belakang kesejarahan, pendangan dunia (world-view), sosio-kultural dan political will dari masing-masing pemerintah. Meskipun begitu, politik hukum suatu negara tetap memperhatikan realitas dan politik hukum internasional. Perbedaan politik hukum suatu negara tertentu dengan negara lain inilah yang menimbulkan istilah politik hukum nasional.
h. Van Apeldorn Politik hukum sebagai politik perundang-undangan. Politik Hukum berarti menetapkan tujuan dan isi peraturan perundang-undangan. Pengertian politik hukum terbatas hanya pada hukum tertulis saja.
i. Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, politik hukum adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak dalam bidang hukum.
j. Purbacaraka dan Soeryono, politik hukum adalah kegiatan-kegiatan memilih nilai-nilai dan penerapan nilai-nilai
k. Bagir Manan, Politik hukum tidak dari politik ekonomi, politik budaya, politik pertahanan, keamanan dan politik dari politik itu sendiri. Jadi politik hukum mencakup politik pembentukan hukum, politik penentuan hukum dan politik penerapan serta penegakan hukum.
l. Moh. Mahfud, Politik Hukum adalah kebijaksanaan hukum ( legal policy ) yang hendak/ telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah ( Indonesia ) yang dalam implementasinya melalui :
a. Pembangunan hukum yang berintikan pembuat hukum dan pembaharuan terhadap bahan-bahan hukum yang dianggap asing dan atau tidak sesuai dengan kebutuhan penciptaan ( ius constituemdum ) hukum yang diperlukan.
b. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para anggota penegak hukum.
Dari berbagai definisi politik hukum tersebut maka dapat ditarik beberapa unsur-unsur dari politik hukum yakni:
• rangkaian konsep, asas, kebijakan dasar dan pernyataan kehendak penguasa negara
• mengandung politik pembentukan hukum, politik penentuan hukum dan politik penerapan serta penegakan hukum
• menyangkut fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum
• untuk menentukan arah, bentuk maupun isi hukum yang akan dibentuk, hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.
• untuk mencapai suatu tujuan sosial
Dari unsur-unsur tersebut maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan politik hukum adalah serangkaian konsep, asas, kebijakan dasar dan pernyataan kehendak penguasa negara yang mengandung politik pembentukan hukum, politik penentuan hukum dan politik penerapan serta penegakan hukum, menyangkut fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum untuk menentukan arah, bentuk maupun isi hukum yang akan dibentuk, hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun serta untuk mencapai suatu tujuan sosial. Sehingga politik hukum berdimensi ius constitutum dan berdimensi ius constituendum.



DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Budi Hardiman, 1993, Menuju Masyarakat Komunikatif, Kanisius, Yogyakarta.
C.F.G. Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung.
Dani Krisnawati, dkk., 2006, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena Pundi Aksara, Jakarta.
Dye, Thomas R., 1995, Understanding Public Policy, Prentice Hall, New Jersey.
Endang Zaelani Sukaya, 2002, Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi, Paradigma, Yogyakarta.
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, 2008, Dasar-dasar Politik Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Lasswel, Harold dan Abraham Kaplan, 1970, Power And Society, New Heaven: Yale University Press.
Leo Agustino, 2006, Dasar-dasar Kebijakan Publik, Alfabeta, Bandung.
M. Solly Lubis, 2007, Kebijakan Publik, Mandar Maju, Bandung.
Marbun, 2002, Kamus Politik, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Morgenthau, Hans J., 1992. Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta.
Padmo Wahjono, 1986, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum Cet. II, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Said Zainal Abidin, 2004, Kebijakan Publik, Yayasan Pancur Sawah, Jakarta.
Satjipto Rahardjo, 1991, Ilmu Hukum, Cet. III, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Soedarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian Terhadap Hukum Pidana, Sinar baru, Bandung.
_________, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung.



ARTIKEL DALAM MEDIA ELEKTRONIK
Andi Silalahi, 2008, “Politik Hukum”, Serial Online December 31st, 2008, (Cited on 2010 March 14), availaible from : URL:http://one.indoskripsi.com/node/7340.
Anonim, 2008, “Politik Hukum”, Serial Online 2008/12/21, , (Cited on 2010 March 14), availaible from : URL:http://albatrozz.wordpress.com/2008/12/21/politik-hukum/. Redaksi Wikipedia, 2007, , “Politik”, Serial Online 21:29, 3 Mei 2007, (Cited on 2010 March 14), available from: URL: www.wikipedia.org.
Redaksi Wikipedia, 2010, “Politik”, Serial Online 13:58, 8 Maret 2010., (Cited on 2010 March 14), availaible from : URL:http://id.wikipedia.org/wiki/Politik.

JURNAL
Jurnal Prisma Nomor 6 Tahun II Desember 1973, hal. 4.

TINJAUAN UMUM POLITIK HUKUM

Akar Sejarah Timbulnya Politik Hukum
Latar belakang yang menjadi raison d’etre kehadiran disiplin politik hukum adalah rasa ketidakpuasan para teoritisi hukum terhadap model pendekatan hukum. Sejak era Yunani Kuno hingga Post Modern, studi hukum mengalami pasang surut, perkembangan dan pergeseran yang disebabkan oleh terjadinya perubahan struktur sosial, industrialisasi, politik, ekonomi dan pertumbuhan piranti lunak ilmu pengetahuan. Satjipto Rahardjo dalam bukunya yang berjudul Pemikiran Tentang Ancaman Antardisiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional menjelaskan bahwa pada abad ke-19 di Eropa dan Amerika, individu merupakan pusat pengaturan hukum, sedang bidang hukum yang sangat berkembang adalah hukum perdata. Keahlian hukum dikaitkan pada soal keterampilan teknis atau keahlian tukang (legal craftsmanship). Hukum kala itu dianggap independen dan tidak membutuhkan bantuan dari ilmu lain.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Donald H, Gjerdingen, beliau mengemukakan terjadinya pergeseran pemahaman teoritisi terhadap relasi antara hukum dan entitas bukan hukum. Beberapa aliran hukum menurutnya menganggap hukum otonom dari entitas bukan hukum sudah merupakan sesuatu yang tidak sesuai dengan realitas hukum. Politik hukum muncul sebagai suatu disiplin hukum alternatif di tengah kebuntuan metodologis dalam memahami kompleksitas hubungan antara hukum dan entitas bukan hukum terutama dalam kaitan studi ini adalah politik. Istilah dan kajian politik hukum baik dari sisi teoritis dan praktis telah dikenal cukup lama di Indonesia. Namun perkembangannya berjalan sangat lambat.
Pengertian Politik Hukum
1. Perspektif Etimologis
Secara etimogis istilah politik hukum merupakan terjemahan dari rechtspolitiek yang terdiri atas dua kata yakni recht dan politiek. Kant menyatakan law , in generic sense, is a body of rules of action or conduct prescribed by controlling authority and having binding legal force. Kata politiek mengandung arti beleid. Kata beleid sendiri dalam bahasa Indonesia berarti kebijakan (policy). Istilah rechtspolitiek sering dirancukan dengan politieekrecht yang berarti hukum politik. Menurut Hence van Maarseveen istilah politieekrecht merujuk pada istilah hukum tata negara. Politik hukum secara singkat berarti kebijakan hukum, selanjutnya dikatakan politik hukum adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak dalam bidang hukum. Secara etimologis politik hukum secara singkat berarti kebijaksanaan hukum.
2. Perspektif Terminologis
Pendefinisian secara etimologis ternyata belum memberikan gambaran yang komprehensif mengenai politik hukum. Oleh sebab itu diperlukan pendefinisian dari beberapa ahli seperti:
a. Padmo Wahjono, politik hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi hukum yang akan dibentuk.
b. Teuku Mohammad Radjie mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.
c. Soedarto, politik hukum adalah kebijakan dari negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendak, yang diperkirakan akan digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Dalam buku lain Soedarto juga mendefinisikan politik hukum sebagai usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.
d. Satjipto Rahardjo, Satjipto mengutip pendapat parson dan kemudian mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat.
e. Sunaryati Hartono, Sunaryati Hartono tidak mendefinisikan politik hukum secara eksplisif, beliau mengatakan politik hukum sebagai sebuah alat (tool) atau sarana dan langkah yang dapat digunakan pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional yang dikehendaki dan dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia. Sunaryati Hartono menitikberatkan politik hukum dalam dimensi ius contituendum.
f. Abdul Hakim Garuda Nusantara mengemukakan politik hukum nasional secara harfiah dapat diartikan sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh suatu pemerintahan negara tertentu. Definisi yang disampaikan Abdul Hakim Garuda Nusantara merupakan definisi yang paling komprehensif yang merinci mengenai wilayah kerja politik hukum yang meliputi teritorial berlakunya politik hukum dan proses pembaruan dan pembuatan hukum yang mengarah pada sifat kritis terhadap hukum yang berdimensi ius constitutum dan menciptakan hukum yang berdimensi ius constituendum. Selanjutnya ditegaskan pula mengenai fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum, suatu hal yang tidak disinggung oleh para ahli sebelumnya.
Politik hukum bersifat lokal dan partikular yang hanya berlaku dari dan untuk negara tertentu saja. Hal ini disebabkan karena perbedaan latar belakang kesejarahan, pendangan dunia (world-view), sosio-kultural dan political will dari masing-masing pemerintah. Meskipun begitu, politik hukum suatu negara tetap memperhatikan realitas dan politik hukum internasional. Perbedaan politik hukum suatu negara tertentu dengan negara lain inilah yang menimbulkan istilah politik hukum nasional.
Politik Hukum dan Perspektif Keilmuan
Politik Hukum dan Disiplin Hukum
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto meletakkan politik hukum sebagai bagian dari studi hukum. Disiplin politik hukum menurut mereka merupakan gabungan dari ilmu hukum dan filsafat hukum. Pandangan ini bertolak belakang dengan pandangan yang ada selama ini bahwa politik hukum merupakan gabungan dari ilmu hukum dan ilmu politik. Apabila dihubungkan dengan praktik policy making dan policy executing di bidang hukum, politik hukum sebagai teori mengungkapkan policy evaluation dan policy approximation serta policy recommendation di bidang hukum. Dengan demikian politik hukum merupakan sistem ajaran tentang hukum sebagai kenyataan idiil dan riil.


Politik Hukum Sebagai Kajian Hukum Tata Negara
Lembaga-lembaga pemerintahan maupun tujuan negara yang dicita-citakan merupakan bagian dari studi hukum tata negara. Sehingga hal-hal yang berkaitan dengan politik hukum kini menjadi kajian disiplin ilmu tersebut. Menurut H.D. van Wijk sebagaimana dikutip Sri Soemantri, “bila dikaitkan dengan sebuah sistem hukum, hukum tata negara merupakan pondasi, dasar atau muara berlakunya cabang dan ranting hukum yang lain.”

Van Wijk dan le Roy sama-sama menempatkan hukum tata negara sebagai hukum sentral bagi pelaksanaan hukum kenegaraan. Namun pembagian tersebut baru berbicara tentang produk-produk hukum yang menjadi bagian hukum tata negara bukan proses hukum dan politik pembentukan produk-produk hukum. Pada bagian inilah sebenarnya studi politik hukum menjadi sangat penting untuk dicermati karena berkaitan dengan cara bekerjanya badan-badan negara yang berwenang menetapkan politik hukum sebuah negara.

Ruang Lingkup dan Manfaat Ilmu Politik Hukum
Ruang lingkup atau wilayah kajian (domain) disiplin politik hukum meliputi aspek lembaga kenegaraan pembuat politik hukum, letak politik hukum dan faktor (internal dan eksternal) yang mempengaruhi pembentukan politik hukum suatu negara. Politik hukum menganut prinsip double movement yaitu selain sebagai kerangka pikir merumuskan kebijakan dalam bidang hukum (legal policy) oleh lembaga-lembaga negara yang berwenang ia juga dipakai untuk mengkritisi produk-produk hukum yang telah diundangkan berdasarkan legal policy tersebut. Secara rinci ruang lingkup politik hukum adalah:
a. Proses penggalian nilai-nilai dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat oleh penyelenggarakan negara yang berwenang merumuskan politik hukum.
b. Proses perdebatan dan perumusan nilai-nilai dan aspirasi tersebut ke dalam bentuk sebuah rancangan peraturan perundang-undangan oleh penyelenggara negara yang berwenang merumuskan politik hukum.
c. Penyelenggaraan negara yang berwenang merumuskan dan menetapkan politik hukum.
d. Peraturan perundang-undangan yang memuat politik hukum.
e. Faktor-faktor yang mempengaruhi dan menentukan suatu politik hukum baik yang akan, sedang dan telah ditetapkan.
f. Pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan yang merupakan implementasi dari politik hukum suatu negara.
Dalam hal ini, politik hukum secara umum bermanfaat untuk mengetahui bagaimana proses-proses yang tercakup dalam enam wilayah kajian yang bersifat integral itu dapat menghasilkan sebuah legal policy yang sesuai dengan kebutuhan dan rasa keadilan masyarakat.







DAFTAR PUSTAKA

Black, Henry Campbell, 1991, Black’s Law Dictionary, West Publishing, St. Paul, Minnesota.
C.F.G. Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung.
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, 2008, Dasar-dasar Politik Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Miriam Budiadjo, 1996, Dasar-dasar Ilmu Politik, Cet. 17, Gramedia, Jakarta.
Padmo Wahjono, 1986, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum Cet. II, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Purbacaraka, 1995, Penggarapan Disiplin Hukum dan Filsafat Hukum Bagi Pendidikan Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Satjipto Rahardjo, 1991, Ilmu Hukum, Cet. III, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Soedarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian Terhadap Hukum Pidana, Sinar baru, Bandung.
___________, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung.
Jurnal Prisma Nomor 6 Tahun II Desember 1973.

ASAS RETROAKTIF DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA

Hukum pidana Indonesia pada dasarnya menganut asas legalitas sebagimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Salah satu konsekuensi dari ketentuan dari pasal tersebut adalah larangan memberlakukan surut suatu perundang-undangan pidana atau yang dikenal dengan istilah asas retroaktif. Pada awalnya, larangan pemberlakuan surut suatu peraturan pidana terdapat dalam Pasal 6 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlands Indie (AB) S.1947-23, kemudian muncul dalam Konstitusi, yaitu UUDS 1950 Pasal 14 ayat (2). Larangan asas retroaktif juga ditegaskan dalam Pasal 28 I ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan:
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”
Adapun dasar pemikiran dari larangan tersebut adalah:
a. Untuk menjamin kebebasan individu dari kesewenang-wenangan penguasa.
b. Pidana itu juga sebagai paksaan psikis (teori psychologische dwang dari Anselm von Feurebach). Dengan adanya ancaman pidana terhadap orang yang melakukan tindak pidana, penguasa berusaha mempengaruhi jiwa si calon pembuat untuk tidak berbuat.
Meskipun prinsip dasar dari hukum berpegang pada asas legalitas namun dalam beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan asas legalitas ini tidak berlaku mutlak. Artinya dimungkinkan pemberlakuan asas retroaktif walaupun hanya dalam hal-hal tertentu saja. Pemberlakuan surut diizinkan jika sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP yang menyebutkan “ Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.” Suatu peraturan perundang-undangan mengandung asas retroaktif jika :
a. menyatakan seseorang bersalah karena melakukan suatu perbuatan yang ketika perbuatan tersebut dilakukan bukan merupakan perbuatan yang dapat dipidana; dan
b. menjatuhkan hukuman atau pidana yang lebih berat daripada hukuman atau pidana yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan (Pasal 12 Ayat 2 Deklarasi Universal HAM).
Asas retroaktif tidak boleh digunakan kecuali telah memenuhi empat syarat kumulatif:
(1) kejahatan berupa pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman dan destruksinya setara dengannya;
(2) peradilannya bersifat internasional, bukan peradilan nasional;
(3) peradilannya bersifat ad hoc, bukan peradilan permanen; dan
(4) keadaan hukum nasional negara bersangkutan tidak dapat dijalankan karena sarana, aparat, atau ketentuan hukumnya tidak sanggup menjangkau kejahatan pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman dan destruksinya setara dengannya.
Beberapa ketentuan yang mengatur mengenai asas retroaktif ini diatur dalam Penjelasan Pasal 4, Pasal 18 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 (khusus yang berkaitan dengan hukum pidana) dan Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000, Pasal 46 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang menjadi UU No. 15 Tahun 2003 dan Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 yang akhirnya menjadi UU No. 16 Tahun 2003.
Asas Retroaktif Dalam Instrumen Hukum Internasional
Pada saat ini larangan pemberlakuan surut (non retroaktif) suatu peraturan pidana sudah menjadi hal yang umum di dunia internasional, misalnya dalam Artikel 99 Konvensi Jenewa Ketiga 12 Agustus 1949, Pasal 4 dan Pasal 28 Konvensi Wina 1969 (Vienna Convention on the Law and Treaties) yang mengatur perjanjian antara negara dan negara dan Pasal 4 dan Pasal 28 Konvensi Wina 1986 (Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International Organizations or between International Organizations). Selain itu dapat pula dilihat dalam Pasal 11 ayat (2) Universal Declaration of Human Right 1948, Pasal 15 ayat (1) International Covenant on Civil and Political Rights 1966/ICCPR, Pasal 7 European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms and Its Eight Protocols, Pasal 9 American Convention on Human Rights dan Rome Statute of the International Criminal Court (1998) yang tetap mempertahankan prinsip-prinsip asas legalitas, terutama dalam Pasal 22-24.
Meskipun ketentuan dalam hukum internasional menentukan demikian, bukan berarti tidak ada kecualian, artinya kesempatan untuk memberlakukan asas retroaktif tetap terbuka. Ini terjadi karena ketentuan hukum internasional tersebut di atas memberi kemungkinan untuk melakukan penyimpangan. Ini dapat dilihat dari ketentuan dalam Pasal 28 Konvensi Wina 1969 dan Pasal 28 Konvensi Wina 1986 yang rumusannya sama persis. Kemudian Pasal 64 dan Pasal 53 kedua konvensi itu juga memberi kemungkinan berlakunya asas retroaktif. Ketentuan lain dapat kita lihat dalam Pasal 103 Piagam PBB dan Pasal 15 ayat (2) ICCPR yang merupakan pengecualian terhadap Pasal 15 ayat (1).
Dari praktek hukum pidana internasional, dapat dilihat bahwa asas retroaktif ini diberlakukan terhadap beberapa peristiwa tertentu, yang pada akhirnya praktek ini mempengaruhi pembuatan ketentuan penyimpangan atau pengecualian dari asas non retroaktif pada instrumen hukum internasional. Mahkamah pidana internasional Nuremberg 1946 dan Tokyo 1948 yang mengadili penjahat perang pada Perang Dunia II, International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) merupakan contoh penerapan asas retroaktif. Pelanggaran terhadap asas non-retroaktif tersebut merupakan momentum penting, merupakan “benchmark” dalam perkembangan politik hukum pidana pasca Perang Dunia Kedua, sekalipun telah menimbulkan pro dan kontra dikalangan para ahli hukum pidana di seluruh dunia.

Analisis Yuridis
Penolakan terhadap asas retroaktif dipicu dari adanya anggapan bahwa asas retroaktif merupakan wadah dari political revenge (balas dendam politik) sehingga asas retroaktif dikatakan sebagai refleksi dari lex talionios (balas dendam). Larangan akan pemberlakuan asas retroaktif dalam instrumen hukum internasional dan hukum nasional setidaknya menjadi indikator bahwa asas ini masih terbuka untuk diperdebatkan. Larangan mengenai asas retroaktif ini merupakan non derogable rights (hak-hak yang tidak dapat ditangguhkan atau dibatasi (dikurangi) pemenuhannya oleh negara, meskipun dalam kondisi darurat sekalipun) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 15 International Covenant on Civil and Political Rights yang diratifikasi melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik) kecuali memenuhi syarat komulatif yakni:
a. sepanjang ada situasi mendesak yang secara resmi dinyatakan sebagai situasi darurat yang mengancam kehidupan bernegara
b. penangguhan atau pembatasan tersebut tidak boleh didasarkan pada diskriminasi ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal-usul sosial,
c. pembatasan dan penangguhan yang dimaksud harus dilaporkan kepada Perserikatan Bangsa Bangsa(PBB).
Pemberlakuan asas reroaktif sebaiknya tetap dipertahankan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Hal tersebut didasari oleh beberapa alasan yakni:
a. Secara yuridis, asas retroaktif dimungkinkan melalui rumusan Pasal 28 J Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945 yang menyebutkan:
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
b. Ketentuan internasional memberikan peluang untuk memberlakukan asas retroaktif, bahkan telah menerapkan asas ini melalui pengadilan ad hoc di Nuremberg, Tokyo dan sebagainya sebagaimana telah diauraikan sebelumnya.
c. Asas retroaktif merupakan senjata untuk menghadapi kejahatan-kejahatan baru yang tidak dapat disejajarkan dengan tindak pidana yang terdapat dalam KUHP ataupun diluar KUHP. Dengan demikian tidak ada pelaku yang dapat lolos dari jeratan hukum.
d. Pemberlakuan asas retroaktif merupakan cerminan dari asas keadilan baik terhadap pelaku maupun korban.
e. Asas retroaktif sangat diperlukan dalam mengadili kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Adapun kualifikasi extra ordinary crime dapat dilihat pada jumlah korban, cara dilakukannya kejahatan, dampak psikologis yang ditimbulkan serta kualifikasi kejahatan yang ditetapkan oleh PBB.
f. Sesuai dengan asas-asas hukum pidana internasional, penolakan terhadap asas retroaktif ini semata-mata hanya dilihat melalui pendekatan hukum tata negara saja tanpa memperhatikan aspek pidana (nasional dan internasional).




DAFTAR BACAAN


BUKU-BUKU
Andi Hamzah, 1992, Hukum Pidana Politik, Pradnya Paramita, Jakarta.
Barda Nawawi Arief, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Remmelink, J. 2003, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, Gramedia, Jakarta.
Romli Atmasasmita, 2001, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum, Mandar Maju, Bandung.
_________________, 2004, Kapita Selekta Hukum Pidana Internasional, Jilid Ke-2, Utomo, Bandung.
_________________, 2004, Pengantar Hukum Pidana Internasional Bagian II, Hecca Mitra Utama, Jakarta.
Serikat Putra Jaya, Nyoman, 2009, Pemberlakuan Hukum Pidana Secara Retroaktif Sebagai Penyeimbang Asas Legalitas Dan Asas Keadilan (Suatu Pergeseran Paradigma Dalam Ilmu Hukum Pidana), JTPTUNDIP, Semarang.
Shinta Agustina, 2006, Hukum Pidana Internasional Dalam Teori dan Praktek, Andalas University, Padang.


SUMBER HUKUM
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Asa Mandiri, Jakarta, 2005.

UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pada Peristiwa Peledakan Bom Di Bali Tanggal 12 Oktober 2002, Menjadi Undang-Undang.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik).

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pada Peristiwa Peledakan Bom Di Bali Tanggal 12 Oktober 2002.

International Covenant on Civil and Political Rights

International Convention for the Suppression of Terrorist Bombing 1997.

International Convention for the Suppression of Fiturncing of Terrorism 1999, European Convention on the Suppression of Terrorism 1978.

The Arab Convention on the Suppression of Terrorism 1998 dan SAARC Regional Convention on Suppression of Terrorism 1987.



JURNAL ILMIAH

Agung Yudhawiranata, Menyelesaikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Di Masa Lalu, dalam Dignitas, Jurnal Hak Asasi Manusia, Vol. I No. 1 Tahun 2003, Elsam, Jakarta.

Indriyanto Seno Adji, Catatan Tentang Pengadilan HAM dan Masalahnya, Artikel pada Majalah Hukum Pro Justitia Tahun XIX No. 1 Januari 2001, FH UNPAR, Bandung.

¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬_________________, “Terorisme”, Perpu No. 1 Tahun 2002 Dalam Perspektif Hukum Pidana dan Hak Asasi Manusia, Artikel dalam Jurnal Hukum Pro Justitia Tahun XX No. 1, Januari 2003, FH UNPAR, Bandung.

Parthiana, I Wayan Beberapa Masalah Hukum Dari Asas Non Retroactive Dalam UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM, Artikel dalam Jurnal Hukum Pro Justitia Tahun XX No. 3 Juli 2002, FH UNPAR Bandung.

Bahan-bahan Kuliah Hukum Pidana Internasional, Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Udayana, Denpasar, 2010.

SEJARAH PEMIKIRAN HAM DI INDONESIA

1. Sejarah Pemikiran Hak Asasi Manusia Pra Kemerdekaan Republik Indonesia
Ide-ide mengenai jaminan hak asasi manusia di Indonesia terefleksi secara nyata dalam kultur masyarakat Indonesia. Penyelesaian sengketa secara melalui pemuka-pemuka adat menjadi ciri bahwa permasalahan hak asasi manusia memiliki urgensi krusial untuk diselesaikan. Percikan pemikiran mengenai hak asasi manusia pada masa pra kemerdekaan dapat dibaca dalam kumpulan surat-surat R.A. Kartini yang berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang (Door Duisternis tot Licht) yang menceritakan betapa pentingnya hak atas pendidikan dan persamaan derajat, selanjutnya pada karangan-karangan politik yang ditulis oleh H.O.S. Cokroaminoto, Agus Salim, Douwes Dekker, Soewardi Soeryaningrat, petisi yang dibuat oleh Sutardjo di Volksraad yang isinya adalah permohonan supaya diselenggarakan suatu musyawarah antara wakil-wakil Indonesia dan negeri Belanda dengan kedudukan dan hak yang sama atau pledoi Soekarno yang berjudul ”Indonesia Menggugat” dan Hatta dengan judul ”Indonesia Merdeka” yang dibacakan di depan pengadilan Hindia Belanda.
Dalam konteks pemikiran HAM, para pemimpin Boedi Oetomo telah memperlihatkan adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi-petisi yang ditujukan kepada pemerintah kolonial dalam tulisan yang dimuat dalam Goeroe Desa. Boedi Oetomo memiliki tujuan yaitu Medewerking to de verwezenlijking van de Indonesische Eenheidsgedachte (turut berusaha untuk melaksanakan cita-cita persatuan Indonesia. Selain itu, Boedi Oetomo telah pula memperlihatkan kepeduliannya tentang konsep perwakilan rakyat. Langkah tersebut diambil sebagai bentuk kewajiban mempertahankan negeri di bawah pemerintahan kolonial. Selanjutnya, pemikiran hak asasi manusia pada Perhimpunan Indonesia banyak dipengaruhi tokoh organisasinya seperti Moh. Hatta, Nazir, Pamontjak, Ahmad Soebardjo, A.A Maramis, dan lain-lain. Pemikiran itu lebih menitikberatkan pada hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of self-determination). Selanjutnya, Sarekat Islam merupakan organisasi kaum santri yang dimotori oleh H. Agus Salim dan Abdul Muis. Konsep HAM yang dikemukakan oleh organisasi ini menekankan pada usaha-usaha untuk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan diskriminasi rasial. Selanjutnya, Partai Komunis Indonesia yang merupakan partai yang berlandaskan pada Marxisme. Dari segi pemikiran HAM partai ini lebih condong pada hak-hak yang bersifat sosial dan menyentuh isu-isu yang berkenaan dengan alat-alat produksi. Organisasi yang juga konsen terhadap HAM ada pada Indische Partij yang memiliki konsep pemikiran HAM paling yakni hak untuk mendapatkan kemerdekaan serta mendapatkan perlakuan yang sama. Bahkan, Douwes Dekker menyatakan bahwa kemerdekaan itu harus direbut. Kemudian Partai Nasional Indonesia yang dalam konteks pemikiran HAM mengedepankan hak untuk memperoleh kemerdekaan (the right of self determination). Adapun pemikiran HAM dalam organisasi Pendidikan Nasional Indonesia yang didirikan oleh Moh. Hatta setelah Partai Nasional Indonesia dibubarkan dan merupakan wadah perjuangan yang menerapkan taktik non kooperatif melalui program pendidikan politik, ekonomi dan sosial.
Perdebatan pada sidang BPUKPI mengenai perlu dimasukkannya hak asasi manusia dalam konstitusi Indonesia menjadi tonggak penting dalam diskursus pemikiran hak asasi manusia selanjutnya. Soekarno dan Supomo mengajukan pendapat bahwa hak-hak warga negara tidak perlu dicantumkan dalam pasal-pasal konstitusi. Penolakan Soekarno dan Supomo tersebut didasarkan pada pandangan mengenai dasar negara yang dalam istilah Soekarno disebut dengan “Philosofische grondslag” atau dalam istilah Supomo disebut Staatsidee. Dasar negara Indonesia tidak berlandaskan pada paham liberalisme dan kapitalisme namun berlandaskan pada asas kekeluargaan dan gotong royong. Oleh sebab itu pemikiran mengenai hak asasi manusia tidak perlu dicantumkan dalam konstitsui. Hak individu menjadi tidak relevan dalam paham negara integralistik, yang justru relevan adalah kewajiban asasi kepada negara. Sebaliknya, Mohammad Hatta dan Muhammad Yamin tegas berpendapat perlunya mencantumkan pasal mengenai kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan di dalam Undang-Undang Dasar. Hatta menegaskan kekhawatirannya jika Indonesia nantinya akan terjebak pada pemberian kekuasaan yang seluas-luasnya kepada negara sehingga menjadi negara dengan otoritarianisme. Yamin dalam pidatonya kemudian menyatakan “Saya menolak segala alasan-alasan yang dimajukan untuk tidak memasukkannya. Aturan dasar tidaklah berhubungan dengan liberalisme, melainkan semata-mata satu kesemestian perlindungan kemerdekaan, yang harus diakui dalam Undang-undang Dasar,” Pendapat Hatta dan Yamin didukung pula oleh anggota BPUPKI yang lain yakni Liem Koen Hian, yang mengusulkan perlunya dimasukkan hak kemerdekaan buat drukpers, onschendbaarheid van woorden (pers cetak, kebebasan mengeluarkan pikiran dengan lisan).
Percikan perdebatan yang dipaparkan di atas berakhir dengan suatu kompromi. Hak warga negara yang diajukan oleh Hatta, Yamin dan Liem Koen Hian diterima untuk dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar, tetapi dengan terbatas. Keterbatasan itu bukan hanya dalam arti bahwa hak-hak tersebut lebih lanjut akan diatur oleh undang-undang, tetapi juga dalam arti konseptual. Konsep yang digunakan adalah “Hak Warga Negara” (“rights of the citizens”) bukan “Hak Asasi Manusia” (human rights). Penggunaan konsep “Hak Warga Negara” itu berarti bahwa secara implisit tidak diakui paham natural rights yang menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki oleh manusia karena ia lahir sebagai manusia. Sebagai konsekuensi dari konsep itu, maka negara ditempatkan sebagai “regulator of rights”, bukan sebagai “guardian of human rights”

2. Sejarah Pemikiran Hak Asasi Manusia Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia
Pada 1945-1950
Pemikiran HAM pada awal kemerdekaan masih menekankan pada hak untuk merdeka (self detemination), hak kebebasan berserikat, melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Hal ini tidak lepas dari fakta sejarah yang menunjukkan upaya bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan dari tentara sekutu yang telah melancarkan agresi militer Belanda I dan agresi militer Belanda II. Puncak penegakan hak asasi manusia pada masa ini ditandai dengan penyerahan kedaulatan melalui perjuangan diplomasi pada Konferensi Meja Bundar.
Pada tahun 1950-1959
Presiden Soekarno pada masa ini memerintah dengan menggunakan konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 yang berlangsung dari 17 Agustus 1950 sampai 6 Juli 1959. Sejak 17 Agustus 1950, Negara Indonesia diperintah dengan menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 yang menganut sistem kabinet parlementer. Ada beberapa pemikiran penting mengenai perkembangan hak asasi manusia pada masa ini yakni:
a. semakin banyak tumbuh partai politik dengan beragam idiologinya masing-masing.
b. kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi betul-betul menikmati kebebasannya.
c. pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi berlangsung dalam suasana kebebasan, fair dan demokratis.
d. parlemen atau dewan perwakilan rakyat sebagai representasi dari kedaulatan rakyat menunjukkan kinerja dan kelasnya sebagai wakil-wakil rakyat dengan melakukan kontrol/pengawasan yang semakin efektif terhadap eksekutif.
e. wacana dan pemikiran tentang HAM memperoleh iklim yang kondusif, sejalan dengan tumbuhnya sistem kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan.
Pada tahun 1959-1966
Pada periode ini, sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi terpimpin sebagai reaksi penolakan Soekarno terhadap sistem demokrasi parlementer. Pada sistem ini kekuasaan terpusat pada tangan presiden. Akibatnya Presiden melakukan tindakan inkonstitusional baik pada tataran suprastruktur politik maupun dalam tataran infrastruktur politik. Dalam perspektif pemikiran hak asasi manusia, telah terjadi pengekangan hak asasi masyarakat terutama hak sipil dan hak politik. Dengan kata lain telah terjadi restriksi atau pembatasan yang ketat oleh kekuasaan, sehingga mengalami kemunduran (set back) sebagai sesuatu yang berbanding terbalik dengan situasi pada masa Demokrasi Parlementer. Dengan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, maka status konstitusional hak asasi manusia yang telah diakui dalam Konstitusi RIS dan Undang-Undang Dasar “Sementara” 1950 menjadi mundur kembali. Pada masa ini Kebebasan partai dibatasi dan Presiden cenderung berkuasa mutlak sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan Era Demokrasi Terpimpin ini merupakan kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum borjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, cadangan devisa menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.
Pada tahun 1966-1998
Perdebatan itu muncul pada Sidang Umum MPRS tahun 1968 di awal Orde Baru. MPRS ketika itu telah membentuk Panitia Ad Hoc Penyusunan Hak-Hak Asasi Manusia yang menghasilkan “Rancangan Keputusan MPRS tentang Piagam Hak-Hak Asasi Manusia dan Hak-hak serta Kewajiban Warga Negara”. Pada masa ini banyak terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi secara sistematis dan sitemik seperti kasus Tanjung Priok, kasus Kedung Ombo, kasus DOM di Aceh, kasus di Irian Jaya, dan sebagainya. Namun perkembangan pemikiran mengenai hak asasi manusia ini telah menunjukkan sikap akomodatif dari pemerintah dalam memenuhi tuntutan penegakan hak asasi manusia yakni dengan dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) pada tanggal 7 Juni 1993 berdasarkan KEPRES No. 50 tahun 1993.
Pada tahun 1998-kini
Perkembangan pemikiran hak asasi manusia pada masa reformasi ini kembali mengalami progres yang signifikan. Hal ini ditandai dengan ratifikasi ketentuan pengesahan International Covenant On Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya) melalui UU No. 11 Tahun 2005 serta Pengesahan International Covenant On Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) melalui UU No. 12 Tahun 2005. Pada periode reformasi ini muncul kembali perdebatan mengenai konstitusionalitas perlindungan hak asasi manusia yang akhirnya terwujud dalam amandemen Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memuat mengenai Pasal khusus yang mengatur tentang hak asasi manusia yakni pada pasal 28A-J yang mengatur hak asasi sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya dan sekaligus mengatur mengenai tanggung jawab negara akan pemenuhan hak asasi tersebut. Dalam konteks penegakan hak asasi manusia, pada masa ini terbentuk pengadilan HAM yang khusus mengadili pelanggaran HAM berat.
Pasang surut mengenai pemikiran hak asasi manusia menjadi ciri bahwa kehidupan masyarakat yang mengalami dinamika. Hal ini dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dipegang oleh bangsa Indonesia, adat istiadat, ketentuan-ketentuan hukum internasional serta budaya hukum masyarakat nasional dan internasional. Dinamika mengenai pemikiran hak asasi manusia ini diikuti dengan dinamika pengaturan hak asasi manusia dalam instrumen hukum nasional.
Penegakan hak asasi manusia bukan sekadar kewajiban moral, tetapi merupakan kewajiban hukum. Moral dalam arti luas mengandung makna human caracter, conduct, intention, social relation sehingga dalam moral bermakna human conduct. Tingkah laku bermoral tidak saja berkaitan dengan kelakuan baik, tetapi tingkah laku yang mengandung makna dan isi adanya kepedulian sosial dalam bermasyarakat. Bentuk tingkah laku tersebut dapat dimasukkan ke dalam kelompok etika. “ethics is also moral philosophy...ethics is the study of human custom...Hence ethics is the study of right and wrong, of good and evil in human conduct.