Rabu, 12 Mei 2010

SEJARAH PEMIKIRAN HAM DI INDONESIA

1. Sejarah Pemikiran Hak Asasi Manusia Pra Kemerdekaan Republik Indonesia
Ide-ide mengenai jaminan hak asasi manusia di Indonesia terefleksi secara nyata dalam kultur masyarakat Indonesia. Penyelesaian sengketa secara melalui pemuka-pemuka adat menjadi ciri bahwa permasalahan hak asasi manusia memiliki urgensi krusial untuk diselesaikan. Percikan pemikiran mengenai hak asasi manusia pada masa pra kemerdekaan dapat dibaca dalam kumpulan surat-surat R.A. Kartini yang berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang (Door Duisternis tot Licht) yang menceritakan betapa pentingnya hak atas pendidikan dan persamaan derajat, selanjutnya pada karangan-karangan politik yang ditulis oleh H.O.S. Cokroaminoto, Agus Salim, Douwes Dekker, Soewardi Soeryaningrat, petisi yang dibuat oleh Sutardjo di Volksraad yang isinya adalah permohonan supaya diselenggarakan suatu musyawarah antara wakil-wakil Indonesia dan negeri Belanda dengan kedudukan dan hak yang sama atau pledoi Soekarno yang berjudul ”Indonesia Menggugat” dan Hatta dengan judul ”Indonesia Merdeka” yang dibacakan di depan pengadilan Hindia Belanda.
Dalam konteks pemikiran HAM, para pemimpin Boedi Oetomo telah memperlihatkan adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi-petisi yang ditujukan kepada pemerintah kolonial dalam tulisan yang dimuat dalam Goeroe Desa. Boedi Oetomo memiliki tujuan yaitu Medewerking to de verwezenlijking van de Indonesische Eenheidsgedachte (turut berusaha untuk melaksanakan cita-cita persatuan Indonesia. Selain itu, Boedi Oetomo telah pula memperlihatkan kepeduliannya tentang konsep perwakilan rakyat. Langkah tersebut diambil sebagai bentuk kewajiban mempertahankan negeri di bawah pemerintahan kolonial. Selanjutnya, pemikiran hak asasi manusia pada Perhimpunan Indonesia banyak dipengaruhi tokoh organisasinya seperti Moh. Hatta, Nazir, Pamontjak, Ahmad Soebardjo, A.A Maramis, dan lain-lain. Pemikiran itu lebih menitikberatkan pada hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of self-determination). Selanjutnya, Sarekat Islam merupakan organisasi kaum santri yang dimotori oleh H. Agus Salim dan Abdul Muis. Konsep HAM yang dikemukakan oleh organisasi ini menekankan pada usaha-usaha untuk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan diskriminasi rasial. Selanjutnya, Partai Komunis Indonesia yang merupakan partai yang berlandaskan pada Marxisme. Dari segi pemikiran HAM partai ini lebih condong pada hak-hak yang bersifat sosial dan menyentuh isu-isu yang berkenaan dengan alat-alat produksi. Organisasi yang juga konsen terhadap HAM ada pada Indische Partij yang memiliki konsep pemikiran HAM paling yakni hak untuk mendapatkan kemerdekaan serta mendapatkan perlakuan yang sama. Bahkan, Douwes Dekker menyatakan bahwa kemerdekaan itu harus direbut. Kemudian Partai Nasional Indonesia yang dalam konteks pemikiran HAM mengedepankan hak untuk memperoleh kemerdekaan (the right of self determination). Adapun pemikiran HAM dalam organisasi Pendidikan Nasional Indonesia yang didirikan oleh Moh. Hatta setelah Partai Nasional Indonesia dibubarkan dan merupakan wadah perjuangan yang menerapkan taktik non kooperatif melalui program pendidikan politik, ekonomi dan sosial.
Perdebatan pada sidang BPUKPI mengenai perlu dimasukkannya hak asasi manusia dalam konstitusi Indonesia menjadi tonggak penting dalam diskursus pemikiran hak asasi manusia selanjutnya. Soekarno dan Supomo mengajukan pendapat bahwa hak-hak warga negara tidak perlu dicantumkan dalam pasal-pasal konstitusi. Penolakan Soekarno dan Supomo tersebut didasarkan pada pandangan mengenai dasar negara yang dalam istilah Soekarno disebut dengan “Philosofische grondslag” atau dalam istilah Supomo disebut Staatsidee. Dasar negara Indonesia tidak berlandaskan pada paham liberalisme dan kapitalisme namun berlandaskan pada asas kekeluargaan dan gotong royong. Oleh sebab itu pemikiran mengenai hak asasi manusia tidak perlu dicantumkan dalam konstitsui. Hak individu menjadi tidak relevan dalam paham negara integralistik, yang justru relevan adalah kewajiban asasi kepada negara. Sebaliknya, Mohammad Hatta dan Muhammad Yamin tegas berpendapat perlunya mencantumkan pasal mengenai kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan di dalam Undang-Undang Dasar. Hatta menegaskan kekhawatirannya jika Indonesia nantinya akan terjebak pada pemberian kekuasaan yang seluas-luasnya kepada negara sehingga menjadi negara dengan otoritarianisme. Yamin dalam pidatonya kemudian menyatakan “Saya menolak segala alasan-alasan yang dimajukan untuk tidak memasukkannya. Aturan dasar tidaklah berhubungan dengan liberalisme, melainkan semata-mata satu kesemestian perlindungan kemerdekaan, yang harus diakui dalam Undang-undang Dasar,” Pendapat Hatta dan Yamin didukung pula oleh anggota BPUPKI yang lain yakni Liem Koen Hian, yang mengusulkan perlunya dimasukkan hak kemerdekaan buat drukpers, onschendbaarheid van woorden (pers cetak, kebebasan mengeluarkan pikiran dengan lisan).
Percikan perdebatan yang dipaparkan di atas berakhir dengan suatu kompromi. Hak warga negara yang diajukan oleh Hatta, Yamin dan Liem Koen Hian diterima untuk dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar, tetapi dengan terbatas. Keterbatasan itu bukan hanya dalam arti bahwa hak-hak tersebut lebih lanjut akan diatur oleh undang-undang, tetapi juga dalam arti konseptual. Konsep yang digunakan adalah “Hak Warga Negara” (“rights of the citizens”) bukan “Hak Asasi Manusia” (human rights). Penggunaan konsep “Hak Warga Negara” itu berarti bahwa secara implisit tidak diakui paham natural rights yang menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki oleh manusia karena ia lahir sebagai manusia. Sebagai konsekuensi dari konsep itu, maka negara ditempatkan sebagai “regulator of rights”, bukan sebagai “guardian of human rights”

2. Sejarah Pemikiran Hak Asasi Manusia Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia
Pada 1945-1950
Pemikiran HAM pada awal kemerdekaan masih menekankan pada hak untuk merdeka (self detemination), hak kebebasan berserikat, melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Hal ini tidak lepas dari fakta sejarah yang menunjukkan upaya bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan dari tentara sekutu yang telah melancarkan agresi militer Belanda I dan agresi militer Belanda II. Puncak penegakan hak asasi manusia pada masa ini ditandai dengan penyerahan kedaulatan melalui perjuangan diplomasi pada Konferensi Meja Bundar.
Pada tahun 1950-1959
Presiden Soekarno pada masa ini memerintah dengan menggunakan konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 yang berlangsung dari 17 Agustus 1950 sampai 6 Juli 1959. Sejak 17 Agustus 1950, Negara Indonesia diperintah dengan menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 yang menganut sistem kabinet parlementer. Ada beberapa pemikiran penting mengenai perkembangan hak asasi manusia pada masa ini yakni:
a. semakin banyak tumbuh partai politik dengan beragam idiologinya masing-masing.
b. kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi betul-betul menikmati kebebasannya.
c. pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi berlangsung dalam suasana kebebasan, fair dan demokratis.
d. parlemen atau dewan perwakilan rakyat sebagai representasi dari kedaulatan rakyat menunjukkan kinerja dan kelasnya sebagai wakil-wakil rakyat dengan melakukan kontrol/pengawasan yang semakin efektif terhadap eksekutif.
e. wacana dan pemikiran tentang HAM memperoleh iklim yang kondusif, sejalan dengan tumbuhnya sistem kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan.
Pada tahun 1959-1966
Pada periode ini, sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi terpimpin sebagai reaksi penolakan Soekarno terhadap sistem demokrasi parlementer. Pada sistem ini kekuasaan terpusat pada tangan presiden. Akibatnya Presiden melakukan tindakan inkonstitusional baik pada tataran suprastruktur politik maupun dalam tataran infrastruktur politik. Dalam perspektif pemikiran hak asasi manusia, telah terjadi pengekangan hak asasi masyarakat terutama hak sipil dan hak politik. Dengan kata lain telah terjadi restriksi atau pembatasan yang ketat oleh kekuasaan, sehingga mengalami kemunduran (set back) sebagai sesuatu yang berbanding terbalik dengan situasi pada masa Demokrasi Parlementer. Dengan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, maka status konstitusional hak asasi manusia yang telah diakui dalam Konstitusi RIS dan Undang-Undang Dasar “Sementara” 1950 menjadi mundur kembali. Pada masa ini Kebebasan partai dibatasi dan Presiden cenderung berkuasa mutlak sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan Era Demokrasi Terpimpin ini merupakan kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum borjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, cadangan devisa menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.
Pada tahun 1966-1998
Perdebatan itu muncul pada Sidang Umum MPRS tahun 1968 di awal Orde Baru. MPRS ketika itu telah membentuk Panitia Ad Hoc Penyusunan Hak-Hak Asasi Manusia yang menghasilkan “Rancangan Keputusan MPRS tentang Piagam Hak-Hak Asasi Manusia dan Hak-hak serta Kewajiban Warga Negara”. Pada masa ini banyak terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi secara sistematis dan sitemik seperti kasus Tanjung Priok, kasus Kedung Ombo, kasus DOM di Aceh, kasus di Irian Jaya, dan sebagainya. Namun perkembangan pemikiran mengenai hak asasi manusia ini telah menunjukkan sikap akomodatif dari pemerintah dalam memenuhi tuntutan penegakan hak asasi manusia yakni dengan dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) pada tanggal 7 Juni 1993 berdasarkan KEPRES No. 50 tahun 1993.
Pada tahun 1998-kini
Perkembangan pemikiran hak asasi manusia pada masa reformasi ini kembali mengalami progres yang signifikan. Hal ini ditandai dengan ratifikasi ketentuan pengesahan International Covenant On Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya) melalui UU No. 11 Tahun 2005 serta Pengesahan International Covenant On Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) melalui UU No. 12 Tahun 2005. Pada periode reformasi ini muncul kembali perdebatan mengenai konstitusionalitas perlindungan hak asasi manusia yang akhirnya terwujud dalam amandemen Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memuat mengenai Pasal khusus yang mengatur tentang hak asasi manusia yakni pada pasal 28A-J yang mengatur hak asasi sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya dan sekaligus mengatur mengenai tanggung jawab negara akan pemenuhan hak asasi tersebut. Dalam konteks penegakan hak asasi manusia, pada masa ini terbentuk pengadilan HAM yang khusus mengadili pelanggaran HAM berat.
Pasang surut mengenai pemikiran hak asasi manusia menjadi ciri bahwa kehidupan masyarakat yang mengalami dinamika. Hal ini dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dipegang oleh bangsa Indonesia, adat istiadat, ketentuan-ketentuan hukum internasional serta budaya hukum masyarakat nasional dan internasional. Dinamika mengenai pemikiran hak asasi manusia ini diikuti dengan dinamika pengaturan hak asasi manusia dalam instrumen hukum nasional.
Penegakan hak asasi manusia bukan sekadar kewajiban moral, tetapi merupakan kewajiban hukum. Moral dalam arti luas mengandung makna human caracter, conduct, intention, social relation sehingga dalam moral bermakna human conduct. Tingkah laku bermoral tidak saja berkaitan dengan kelakuan baik, tetapi tingkah laku yang mengandung makna dan isi adanya kepedulian sosial dalam bermasyarakat. Bentuk tingkah laku tersebut dapat dimasukkan ke dalam kelompok etika. “ethics is also moral philosophy...ethics is the study of human custom...Hence ethics is the study of right and wrong, of good and evil in human conduct.

2 komentar:

  1. bagaimana anda bisa mengatakan di era 1959-1966 yaitu era demokrasi terpimpin terjadi kolaborasi antara PKI dengan borjuis nasional?pernyataan yg bgitu menggelitik sya..coba buktikan prtanyaan anda!knpa anda ga mengekspose pelanggaran HAM berat pada pembantaian kaum komunis 1965-1966?

    BalasHapus