Sabtu, 15 Mei 2010

20 April 2010 | BP Mafia Kehutanan dan Deforestasi

Euforia dari otonomi daerah dalam pemberian izin konversi hutan juga turut memberikan potret kelam dalam deforestasi. Lemahnya kebijakan juga ditandai dengan lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran atas ketentuan-ketentuan di bidang kehutanan. Bahkan disinyalir mafia hutan ini dimotori oleh sejumlah oknum pejabat terkait dan organisasi-organisasi besar.









Oleh Dewi Bunga



Kejahatan di bidang kehutanan merupakan suatu bentuk kejahatan yang menjadi sorotan publik. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam keterangan persnya kembali menegaskan mengenai masalah krusial yang mesti mendapat perhatian, yakni masalah penegakan hukum di bidang kehutanan. Tak dapat dimungkiri bahwa hutan memberikan banyak manfaat bagi kehidupan makhluk hidup dalam suatu ekosistem. Hutan adalah produsen oksigen utama bagi makhluk hidup yang sekaligus dapat memberikan kemanfaatan finansial bagi masyarakat dan negara. Setiap tahun sebelum terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997, sektor kehutanan telah menyumbangkan devisa negara mencapai US$ 7 - 8 miliar, diikuti dengan 13 jenis pajak dan pungutan nonpajak dari setiap meter kubik kayu yang dipungut dari sektor kehutanan.

-------------------



Namun, pemanfaatan hasil hutan ini tidak diimbangi dengan penjagaan dan pelestarian hutan. Perhutani dalam situs resmi Depdagri RI menyatakan, kerusakan hutan yang terjadi tahun 2007 ini sudah mencapai kisaran 250 ribu - 300 ribu ha. Angka tersebut hampir menyamai jumlah kerusakan hutan yang terjadi selama 2006. Pada tahun 2009 laju kerusakan hutan produksi di Indonesia mencapai 1,08 juta ha per tahun. Departemen Kehutanan pada tahun 2007 melaporkan bahwa secara keseluruhan deforestasi terjadi seluas 1.08 juta ha per tahun di Indonesia. Akibatnya pendapatan domestik bruto (PDB) melalui sektor kehutanan ini mengalami penurunan yang signifikan.

Dari tahun 1997 hingga tahun 2006 sebagaimana data yang dilaporkan Badan Pusat Statistik, PDB selalu kurang dari 2% dari persentase PDB nasional. Ada beberapa hal yang menjadi isu penting dalam kejahatan kehutanan seperti illegal logging, kebakaran hutan, pengelolaan hutan tanpa izin dan sebagainya. Untuk mencegah terjadinya kejahatan-kejahatan di bidang kehutanan tersebut maka diperlukan konsep-konsep pengamanan hutan yang tepat guna. Konsep pengamanan hutan merupakan langkah penting di tengah minimnya perhatian masyarakat terhadap permasalahan ini. Konsep pengamanan hutan merupakan bagian dari upaya perlindungan hutan, baik dalam aras internal maupun dalam aras eksternal. Pengamanan hutan dari aras internal melahirkan kewenangan kepolisian khusus bagi pejabat kehutanan tertentu sebagaimana yang diatur dalam PP Nomor 45 Tahun 2004.

Yang dimaksud dengan pejabat kehutanan yang memiliki kewenangan khusus tersebut adalah pegawai negeri sipil yang diangkat sebagai pejabat fungsional polisi kehutanan, pegawai perusahaan umum kehutanan di Indonesia (Perum Perhutani) yang diangkat sebagai polisi kehutanan serta pejabat struktural instansi kehutanan pusat maupun daerah yang sesuai dengan tugas dan fungsinya mempunyai wewenang dan tanggung jawab di bidang perlindungan hutan.

Pengamanan hutan dalam aras eksternal memerlukan perhatian dari masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat, baik yang berskala nasional maupun internasional.



Legalisasi Deforestasi

Tingginya angka kerusakan hutan yang disebabkan oleh kejahatan di bidang kehutanan tidak lepas dari peranan mafia hutan. Akibat illegal logging oleh para mafia ini, negara menderita kerugian sebesar Rp 30 triliun per tahun, belum lagi akibat kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan tersebut. Pemerintah juga turut memberikan sumbangan atas legalisasi deforestasi melalui pengeluaran izin yang memberikan kesempatan bagi investor untuk mengalihfungsikan hasil hutan seperti konversi hutan menjadi daerah pertambangan atau perkebunan.

Deforestasi yang bersifat sistematis, massif, dan terorganisir ini disebabkan oleh beberapa hal, yakni lemahnya kebijakan di bidang hukum kehutanan. Kebijakan hukum ini terdiri atas dua elemen yakni substansi hukum dan struktur hukum. Aturan hukum yang tumpang tindih berimplikasi pada ketidakjelasan wewenang dalam pengamanan hutan dan ketentuan mengenai konversi hutan. Hal ini dapat dilihat pada disharmonisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pola pengamanan hutan, baik dalam aturan yang bersifat vertikal maupun yang bersifat horizontal.

Euforia dari otonomi daerah dalam pemberian izin konversi hutan juga turut memberikan potret kelam dalam deforestasi. Lemahnya kebijakan juga ditandai dengan lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran atas ketentuan-ketentuan di bidang kehutanan. Bahkan disinyalir mafia hutan ini dimotori oleh sejumlah oknum pejabat terkait dan organisasi-organisasi besar.

Perhatian pemerintah terhadap masalah kehutanan terkesan sangat lemah. Hal ini dapat dilihat dari kurangnya tindakan-tindakan nyata untuk melindungi hutan dan merehabilitasi hutan melalui upaya-upaya konservasi. Pembukaan kawasan hutan untuk daerah pertambangan justru melemahkan komitmen pemerintah dalam menekan emisi dan laju deforestasi. Amandemen Pasal 38 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dengan UU No.19 Tahun 2004 telah meloloskan 13 jenis usaha pertambangan yang berpotensi melepas karbon sebesar 185 - 251 juta ton. Hal ini menunjukkan dominasi kepentingan pengusaha atas penerapan kebijakan pelepasan kawasan hutan daripada usaha-usaha dalam pelestarian hutan.

Deforestasi perlu diatasi dengan menerapkan langkah-langkah bijak yang eco-oriented, baik melalui tahapan perencanaan maupun dalam tahapan pengendalian. Inventarisasi hutan merupakan salah satu upaya dalam mencegah deforestasi tersebut. Secara teknis inventarisasi kehutanan ini dapat diimplementasikan melalui manajemen hutan lestari yang meliputi penilaian kualitas dan kuantitas sumber daya hutan yang tersedia, baik dalam bentuk sumber daya kayu, sumber daya nonkayu serta aspek-aspek lain yang terintegrasi pada hutan seperti air, tanah dan satwa yang berada di dalam kawasan hutan. Dengan adanya inventarisasi maka akan diketahui mengenai potensi-potensi yang terdapat di dalam hutan.

Dari aspek kuantitas, dengan adanya inventarisasi kehutanan maka akan diketahui jumlah sumber daya hutan yang artinya jika ada satu saja kehilangan atas sumber daya hutan tersebut akan sangat mudah untuk diketahui dan ditindaklanjuti.

Manajemen hutan lestari pada dasarnya memberikan kontribusi bagi pembangunan hutan yang berkelanjutan dengan mensinergikan aspek lingkungan hidup, ekonomi dan sosial. Manajemen hutan lestari ini disusun dalam rangkaian kerangka kerja hukum dan kebijakan yang meliputi pemenuhan persyaratan sebagaimana yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan, hak dan kewajiban dalam pemilikan dan pemanfaatan hutan serta kebijakan dan tanggung jawab organisasi kehutanan. Selain itu juga berpijak pada orientasi produksi optimal hasil-hasil hutan yang berkelanjutan, perlindungan lingkungan yang berkesinambungan serta jaminan atas kesejahteraan masyarakat. Sehingga, untuk memperbaiki pengelolaan hutan, segala kegiatan yang dilakukan harus sesuai dengan standar-standar dalam manajemen hutan lestari.

Penegakan hukum bagi mafia hutan ini adalah hal mutlak yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Penegakan hukum ini ditujukan pada master mind dari mafia kehutanan yang diduga merupakan afiliasi dari korporasi, pejabat yang mengeluarkan izin tingkat nasional dan daerah yang melakukan penyelundupan hukum untuk meloloskan izin atau konsensi tertentu, atau aktor penegak hukum yang bekerja sama dengan korporasi dan pejabat negara/daerah. Untuk mengoptimalisasi penegakan hukum ini, aparat penegak hukum dapat berkoordinasi dengan masyarakat di sekitar hutan. Dengan langkah-langkah tersebut maka sedapat mungkin mafia hutan dapat diberantas.



Penulis, dosen beberapa PTS di Denpasar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar