Jumat, 14 Mei 2010

KENAIKAN CUKAI ROKOK SEBAGAI BEAUTY STRATEGY DALAM PROGRESITAS PENERIMAAN NEGARA

OLEH: DEWI BUNGA

Perkembangan industri rokok menjadi suatu hal yang diperdebatkan tatkala dihadapkan dengan dua kepentingan besar yakni ekonomi dan kesehatan. Tak dapat dipungkiri bahwa industri rokok memiliki peranan yang sangat besar dalam memberikan kontribusi terhadap pendapatan negara. Pada tahun 2008, industri ini memberikan pemasukan sebesar Rp 51,21 triliun. Peningkatan pendapatan negara dari cukai rokok diestimasi akan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Perkembangan ini juga ditunjang dengan tingkat konsumsi rokok Indonesia yang mendapat peringkat ke-3 di dunia pada tahun 2008.

Dalam kurun waktu tiga bulan (Januari hingga Maret 2010), Menteri Keuangan menyatakan bahwa pemasukan dari cukai rokok telah mencapai 22,26 % dari target APBN 2010. Berdasarkan data dari Ditjen Bea dan Cukai, target penerimaan cukai dalam APBN 2010 adalah Rp 57,29 triliun. Penerimaan negara dari cukai rokok ini jauh melampaui industri lainnya bahkan mengalahkan industri pertambangan emas sekalipun. Realisasi penerimaan bea masuk hingga Maret 2010 telah mencapai 18,98 % dari target APBN 2010 sebesar Rp 16,5 triliun. Sementara realisasi penerimaan bea keluar mencapai 5,3 % dari target APBN 2010 sebesar Rp 7,6 triliun.

Industri rokok disamping memberikan pemasukan yang signifikan bagi pendapatan negara juga memberikan penghidupan yang begitu besar bagi masyarakat. Jumlah pabrik rokok di Indonesia yang mencapai 4416 pabrik telah menampung ratusan ribu tenaga kerja yang menggantungkan hidupnya pada sektor ini. Dilihat dari pertumbuhan penyerapan tenaga kerja, secara keseluruhan penyerapan tenaga kerja industri rokok tumbuh sebesar 2,69 % per tahun (Tri Wibowo, 2003: 90). Pertumbuhan industri rokok di tanah air tidak lepas dari tingginya tingkat konsumsi perokok aktif. Data yang dikeluarkan oleh BPS pada tahun 2006 menyebutkan bahwa pengeluaran rumah tangga untuk rokok jauh lebih besar dari pengeluaran untuk kebutuhan dasar rumah tangga lainnya yakni mencapai 12 % dari total pendapatan di keluarga tersebut. Hasil penelitian Lembaga Demografi FE UI pada tahun 2008 bahkan menunjukkan bahwa pengeluaran untuk pembelian rokok buatan pabrik rata-rata Rp 3.545,00 per hari atau seperempat dari penghasilan hariannya sebagai buruh tani. Pengeluaran untuk rokok lebih dari 5 kali lipat pengeluaran untuk makanan bergizi. Dilihat dari proporsi total pengeluaran bulanan, belanja rokok mencapai lebih dari 3 kali pengeluaran untuk pendidikan (3,2%) dan hampir 4 kali lipat pengeluaran untuk kesehatan (2,7%) (Ridwan Amiruddin, 2010, http://ridwanamiruddin.wordpress.com/2010/02/06/strategi-pengendalian-rokok/).

Laporan sebagaimana yang ditulis surabaya-ehealth.org/ mencatat 800 juta dari 1,2 miliar perokok dunia berasal dari negara berkembang. Dari jumlah tersebut termasuk jumlah perokok anak. Prevalensi anak yang merokok di Indonesia diperkirakan mencapai 25,9 juta atau sekitar 37 %. Data di tahun 2004 menunjukkan anak mulai merokok pada usia 5 tahun. Tingkat konsumsi rokok terbesar berada pada usia produktif yakni 25-64 tahun dengan persentase 29% sampai 32%.

Meskipun industri rokok menjadi pilar kokoh dalam roda perekonomian bangsa namun bahaya konsumsi rokok tidak boleh dilupakan. Pertumbuhan ekonomi yang diberikan oleh industri ini harus ditukar dengan penurunan kualitas hidup manusia. Badan khusus PBB yang menangani masalah kesehatan dunia, WHO, bahkan memberikan peringatan bahwa dalam dekade 2020-2030 tembakau akan membunuh 10 juta orang per tahun, 70% di antaranya terjadi di negara-negara berkembang. Serangan ini terjadi melalui beberapa penyakit yang ditimbulkan dari rokok seperti AIDS, jantung, impotensi, paru-paru, infeksi saluran pernafasan, kanker dan sebagainya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengendalikan dampak rokok adalah melalui kenaikan cukai rokok secara progresif.

Pada dasarnya cukai hanya dikenakan terhadap barang-barang yang memiliki sifat dan karakteristik tertentu yakni konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan. Berdasarkan Pasal 5 Undang-undang Nomor 39 tahun 2007 Tentang Cukai disebutkan bahwa tembakau dikenai cukai berdasarkan tarif paling tinggi:
a. untuk yang dibuat di Indonesia:
275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual pabrik; atau 2. 57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.
b. untuk yang diimpor:
275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah nilai pabean ditambah bea masuk; atau 2. 57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.

Berdasarkan Peraturan Menkeu No. 118/ PMK. 04/2006 tentang kebijakan cukai 2007, mulai 1 Juli 2007, pemerintah menetapkan cukai ganda untuk produk rokok berupa tarif advalorum dengan kenaikan sebesar 7% dan tarif spesifik yang ditetapkan secara bervariasi sesuai jenis rokok antara Rp 3 dan Rp 7 per batang. Kebijakan penaikan cukai terhadap tembakau ini merupakan langkah konkrit dalam membatasi peredaran barang-barang unhealthy.

Kenaikan cukai rokok secara progresif menjadi salah satu beauty strategy dalam progresitas penerimaan negara (government revenue). Disisi lain kenaikan cukai dapat meningkatkan harga jual rokok kepada konsumen. Dengan meningkatnya harga rokok maka kelompok kolektif seperti remaja, anak-anak dan orang-orang yang berpenghasilan minim tidak akan membeli rokok atau setidak-tidaknya mengurangi konsumsi rokok per harinya. Sehingga alokasi dana rumah tangga untuk kesehatan, pangan dan pendidikan akan semakin meningkat. Bank Dunia menyimpulkan bahwa kenaikan harga produk tembakau sebesar 10% akan menurunkan tingkat permintaan global sebesar rata-rata 4-8%, dan dapat mencegah paling sedikit 10 juta kematian yang berhubungan dengan tembakau.

Kenaikan cukai ini harus didasarkan pada kerangka kerja (framework) yang jelas. Untuk itu diperlukan dua hal penting yang harus mendapatkan perhatian khusus yakni audit cukai dan penegakan hukum (law enforcement). Audit cukai adalah serangkaian kegiatan pemeriksaan laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan dokumen lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk data elektronik, serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang cukai dan/atau sediaan barang dalam rangka pelaksanaan ketentuan perundang-undangan di bidang cukai. Jika dalam audit cukai ditemukan penyimpangan-penyimpangan maka diperlukan penegakan hukum yang konsisten yang dapat menjerat para pelaku sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

1 komentar:

  1. mw apapun solusinya,,apapun masalhnya klo dibwa ke negara yg namanya 'indonesia' pasti ga akan efektif,,byk celah2 yg mase bisa di "kompromikan" bersama apalagi klo masalah yg menguntungkan kantong2 pribadi yg brsangkutan,,pnjahat 'kerah putih' seakan-akan py link scra vertikal mapun horizontal yg ga akan putus2 utk memecahkan masalah yg membuat anak cucu mereka "makmur" 7 turunan.ini uda mendarah daging sejak orde "brengsek" baru brkuasa di indonesia! coba bandingkan dengan komentku di tulisan anda yg laen yg ada sangkut pautnya dgn rokok di blog ini!

    BalasHapus