Jumat, 14 Mei 2010

OPTIMALISASI MEDIA INTERNET SEBAGAI SARANA KAMPANYE PENGENDALIAN TEMBAKAU DAN KONSUMSI ROKOK

Oleh: Dewi Bunga

Merokok seakan menjadi budaya dan gaya hidup bagi masyarakat dalam pergaulan apalagi bagi kaum laki-laki. Mulai dari mencoba-coba hingga akhirnya menjadi ketergantungan. Eskalasi merokok dan konsumsi tembakau oleh anak-anak dan remaja di seluruh dunia terutama merokok pada usia muda cenderung meningkat. Kebiasaan ini sebenarnya bukan hanya merugikan kesehatan dari para perokok melainkan juga merugikan orang-orang di sekitarnya. Setiap perokok setidaknya telah memfiksasi ± 200 gas beracun yang terkandung di dalam setiap batangnya. Penelitian menunjukkan adanya bahaya dari secondhand-smoke, yaitu asap yang dikeluarkan dari paru-paru perokok atau asap yang timbul pada pembakaran akhir rokok atau biasa disebut juga dengan perokok pasif. Bahkan perokok pasif lebih beresiko terserang penyakit jantung daripada perokok aktif. Hal ini disebabkan karena serangan yang merasuk pada sistem kardiovaskuler. Mereka yang dikelilingi oleh asap rokok akan lebih cepat meninggal dibanding mereka yang hidup dengan udara bersih. Dan angka kematiannya meningkat 15% lebih tinggi.

Dari penelitian terhadap 1.263 pasien kanker paru-paru yang tidak pernah merokok, terlihat bahwa mereka yang menjadi perokok pasif di rumah akan meningkatkan risiko kanker paru-paru hingga 18%. Bila hal ini terjadi dalam waktu yang lama, 30 tahun lebih, risikonya meningkat menjadi 23%. Bila menjadi perokok pasif di lingkungan kerja atau kehidupan sosial, risiko kanker paru-paru akan meningkat menjadi 16% sedang bila berlangsung lama, hingga 20 tahun lebih, akan meningkat lagi risikonya menjadi 27%.

Peningkatan kuantitas dan kualitas perokok tidak dapat dilepaskan dari iklan-iklan rokok di indonesia yang terkesan lunak dan persuasif. Dalam Ketentuan Pasal 46 ayat (3) c Undang-undang nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran disebutkan bahwa “Siaran iklan niaga dilarang melakukan promosi rokok yang memperagakan wujud rokok.” Ketentuan tersebut sangat sedikit menyinggung isu substansial iklan rokok yang saat ini justru semakin berani menunjukkan eksistensinya bahkan menggaet ikon anak muda dalam mempromosikan produknya.

Promosi rokok yang begitu menggeliat harus diimbangi dengan kampanye pengendalian tembakau dan konsumsi rokok yang lebih persuasif dan komunikatif pula. Kampanye layaknya lebih ditujukan pada generasi muda yang belum pernah mencoba rokok. Salah satu media yang dapat digunakan untuk kampanye pengendalian tembakau dan konsumsi rokok ini adalah melalui produk-produk teknologi. Konvergensi antara teknologi komunikasi, media dan komputer menghasilkan sarana baru yang disebut dengan internet. Internet merupakan jaringan komunikasi digital yang terbukti ampuh dalam membangun opini publik. Dengan pemanfaatan media ini maka masyarakat khususnya generasi muda dapat mengetahui lebih mendalam mengenai bahaya rokok sehingga akan berpikir ulang untuk mencobanya.

Urgensi Pembatasan Rokok di Negara Berkembang
Peringatan hari bebas tembakau sedunia yang diperingati setiap tanggal 31 Mei menjadi momentum yang mengindikasikan betapa besarnya perhatian dunia internasional akan permasalahan ini. Berbagai pemecahan masalah (problem solving) yang ditawarkan baik bersifat preemtif, preventif dan represif menjadi gambaran yang memberikan titik awal untuk setidak-tidaknya mampu menghalau akibat negatif dari rokok. Upaya ini secara lugas ditujukan bagi negara-negara berkembang. Organisasi kesehatan dunia di bawah naungan PBB, WHO, memberikan peringatan bahwa dalam dekade 2020-2030 tembakau akan membunuh 10 juta orang per tahun, 70% di antaranya terjadi di negara-negara berkembang.

Estimasi yang dilontarkan oleh WHO ini dapat dipahami melalui data empiris yang terjadi di negara-negara berkembang. Adapun hal tersebut dapat dirinci sebagai berikut:

1. Di negara-negara berkembang substansi hukum yang mengatur mengenai pembatasan rokok masih sangat lemah. Konflik norma, norma kabur dan norma kosong mengenai pengaturan rokok menjadi akar masalah dalam penegakan hukumnya. Meskipun Indonesia bertindak sebagai inisiator dalam Framework Convention on Tobacco Control , namun hingga kini Indonesia belum meratifikasi perjanjian internasional tersebut. Pengaturan mengenai pengendalian tembakau yang tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan hanya mengabsorbsi sebagian kecil dari ketentuan-ketentuan dalam instrumen internasional yang mengatur mengenai hal tersebut. Sehingga dalam banyak hal terjadi kekosongan norma. Kekosongan norma memerlukan suatu legal divice yakni melalui rechtvinding. Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati dalam bukunya yang berjudul Argumentasi Hukum mengemukakan bahwa rechtvinding berkaitan dengan norma yang terdapat dalam satu ketentuan Undang-undang. Rechtvinding dibutuhkan karena konsep norma yang terbuka (open texture) dan norma yang kabur (vague norm).

2. Paradigma pemerintah memandang rokok sebagai sebagai sumber pemasukan negara. Perjuangan ekonomi yang dilakukan hanya berorientasi pada pemikiran bahwa rokok adalah sumber cukai terbesar bagi negara tanpa memperhatikan dampak yang ditimbulkan dari rokok. Suatu hal yang membedakan antara negara maju dengan negara berkembang adalah orientasi dalam pembangunan berkelanjutan, dimana negara berkembang lebih terpaku pada pembangunan ekonomi sedangkan negara maju lebih memperhatikan lingkungan hidup. Sehingga ada benarnya ketika ahli hukum dari negara sosialis menyatakan bahwa HAM sipil dan politik baru terpenuhi ketika HAM ekonomi, sosial dan budaya sudah didapatkan. Sejak 1 Januari 2010 tarif cukai rokok akan naik bervariasi dari sekitar Rp 15 hingga Rp 35 per batang. Target cukai rokok pada tahun 2010 ini kembali naik. Direktorat Cukai menaikkan target hingga Rp 57,280 trilyun dan realisasinya sebesar 106 persen. Namun di balik kemapanan ekonomi yang didapatkan, Indonesia harus mempertaruhkan masa depan generasi mudanya.

3. Kesadaran hukum dan kepatuhan hukum masyarakat di negara berkembang yang sangat memprihatinkan. Untuk mengukur efektivitas bekerjanya hukum dalam masyarakat maka salah satu indikator yang digunakan adalah kesadaran hukum dan kepatuhan hukum. Ewick dan Silbey menyatakan bahwa “the term ‘legal consciouness is used by social scientists to refer to the ways in which people make sense of law and legal institutions, that is, the understandings which give meaning to people’s experiences and actions.” Kesadaran hukum dimaknai bahwa hukum adalah perilaku bukan sebagai suatu aturan. Kesadaran hukum yang ditunjukkan oleh melalui perilaku masyarakat menunjukkan kepatuhan masyarakat terhadap hukum. Kepatuhan hukum dalam masyarakat hendaknya bersifat internalization sehingga seseorang yang menaati aturan karena benar-benar yakin bahwa aturan tersebut sesuai dengan nilai-nilai intrinsik yang dianutnya. Kesadaran hukum dan ketaaan hukum di Indonesia masih sangat lemah dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Kultur masyarakat yang tidak disiplin tercermin dari pemandangan dimana banyak orang yang merokok di kawasan bebas rokok bahkan di dalam ruangan ber-AC. Hal ini tentu tidak akan ditemui di negara-negara maju seperti Jerman, AS, Singapura dan sebagainya. Mengenai hal ini Hari Chand dalam Modern Jurisprudence menyatakan “The modern state probably secures observance of laws, amongst other things, by keeping the masses in the dark about its real deeds.

4. Penegakan hukum yang tidak konsisten. Penegakan hukum membutuhkan sebentuk kekuasaan yang dapat menjamin kepastian hukum, untuk itulah elemen sanksi menjadi unsur yang fundamen dalam penegakan hukum. H.L.A Hart dalam bukunya The Concept of Law memandang bahwa force of coercion is a means for the realization of law rather than an essential feature of the concept of law itself (kekuasaan atau paksaan merupakan suatu sarana untuk merealisasikan hukum, ketimbang hanya sebagai suatu ciri esensial dari hukum itu sendiri). Indonesia memang telah memiliki aturan mengenai pengendalian tembakau namun penegakan hukum terhadap aturan ini sangat lemah bahkan hampir tidak ada. Kebijakan mengenai kawasan bebas rokok hanya sekedar wacana saja, tidak ada penjatuhan sanksi sama sekali bagi pelanggarnya.

Konfigurasi Kampanye Pengendalian Tembakau dan Konsumsi Rokok
Informasi adalah komoditi utama dalam era informasi (information age) yang memberikan pemaknaan bagi setiap pesan. Shanon dan Weaver memandang bahwa informasi adalah the amount of uncertainty that is reduced when a received. Diskursus mengenai informasi selalu berkaitan dengan hak asasi manusia yakni hak atas informasi dan komunikasi. Hak atas informasi dan komunikasi secara internasional telah diakui dan diatur dalam Universal Declaration of Human Right. Hak asasi dan kewajiban asasi manusia dalam konteks keberadaan hak atas informasi dan komunikasi bukan hanya mempersoalkan mengenai siapa yang berhak atas informasi tetapi juga siapa yang bertanggungjawab atas informasi (information liability).

Di era globalisasi, informasi ditransmisikan melalui sarana komunikasi digital yang dapat dilakukan di tempat yang terpisah. Salah satu media komunikasi digital yang kini tengah mewabah di berbagai belahan dunia adalah penggunaan media internet. Kampanye melalui media internet harus memiliki human interest yang tinggi. Hal ini dapat dilakukan dengan memakai bahasa visual yang merepresentasikan pemahaman bahasa melalui bentuk ikon, simbol, dan bahasa tubuh yang semuanya dapat dirangkai menjadi suatu bahasa visual. Kampanye yang dilakukan melalui media internet diharapkan dapat menjaring netizen (sebutan bagi masyarakat di dunia maya) untuk mengetahui, memahami bahkan berorientasi untuk menjauhi rokok.

Daya tarik media komunikasi sesungguhnya tidak lepas dari tiga aspek penting yakni informatif, pilihan kata dan visualisasi serta menimbulkan respon dari pirsawan. Untuk dapat memberikan informasi yang tepat maka diperlukan perumusan bahasa melalui kalimat-kalimat yang sederhana, singkat dan lugas. Pilihan kata juga menjadi perhatian penting dalam penyampaian informasi. Pilihan kata yang terlalu berat dan majemuk perlu dihindari. Visualiasi mengenai bahaya rokok juga perlu dilakukan, misalnya dengan membahasakan kerusakan-kerusakan organ tubuh yang diakibatkan oleh rokok melalui tayangan gambar atau video. Gerakan kampanye melalui media internet dapat dikatakan informatif dan menarik jika netizen memberikan respon terhadap kampanye tersebut. Jika kampanye dilakukan melalui media facebook maka feedback dapat dilihat dari komentar-komentar dari para facebooker.

Konfigurasi kampanye dapat mengambil format yang persuasif. Materi yang disajikan berupa informasi mengenai gambaran mengenai kebiasaan merokok serta dampak positif dan negatif dari rokok. Dengan demikian netizen dapat memutuskan sendiri mengenai sikap yang dipilihnya terhadap rokok tersebut. Kampanye pun tidak bersifat menggurui atau melarang melainkan memberikan pertimbangan sebagai dasar pengambilan keputusan dalam hidup. Seraya mengkritik konsep berpikir Barat yang rasional, logis dan terikat pada aturan, Zohar dan Marshall mengatakan berpikir bukan hanya urusan IQ, melainkan juga berpikir dengan perasaan-perasaan dan tubuh (EQ), juga dengan nurani (spirit), pandangan (visions), harapan (hopes), tentang makna (sense of meaning) dan nilai (SQ).

Penyampaian informasi melalui media internet terbukti efektif dalam menyampaikan informasi kepada para netizen, apalagi media ini lebih banyak dimanfaatkan oleh anak muda yang menjadi sasaran utama dari kampanye tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar