Sabtu, 15 Mei 2010

HUKUM KONTEMPORER YANG NEOLIBERAL




diterbitkan di Bali Post edisi 14 Maret 2010

Judul : Bunga Rampai Pemikiran Hukum Kontemporer
Penulis : IGN Parikesit Widiatedja
Penerbit: Udayana University Press
Cetakan : Pertama, 2010
Tebal : x + 96 halaman



oleh. Dewi Bunga




Melangkah di jagad milenium ketiga alias era informasi atau post industry dengan meminjam bahasa Alvin Toffler dan Francis Fukuyama, liberalisasi telah menjadi editorial dunia yang menyedot animo dan perhatian beragam kalangan dari berbagai disiplin ilmu. Konstruksi dialektika ini tiada terlepas dari andilnya dalam proses konvergensi global yang tidak hanya melahirkan sinergi, namun juga menuai irama pergesekan-pergesekan atau bahkan fragmentasi. Harus diakui bahwa ia merupakan proses yang sulit dihindari. Sebagai ikon dan figurasi perubahan sosial, merujuk tesis Ralf Dahrendorf, nyaris tak ada satu negara pun yang lihai menjauh dari dekapannya, hanya mungkin eskalasinya bersandar pada kebutuhan, kemampuan, kemauan dan kesiapan suatu negara itu sendiri. Ibarat virus, liberalisasi bergerak secara perlahan-lahan dalam tingkat yang tadinya kecil untuk kemudian bertransmutasi ke tingkat yang lebih besar, mulai dari sisi ekonomi, sosial, hukum, politik hingga menyasar entitas budaya sejalan dengan pemikiran Talcot Parson dengan teori cybernetikanya. Pakar hukum progresif dan deep ecology Satjipto Rahardjo lantas mengatakan bahwa perubahan ini bahkan melebar kepada proses berpikir manusia dengan menyeret pula ilmu hukum. Fenomena yang kemudian dikatakan sebagai law of full disorder oleh Charles Stamford yang terbingkai dalam potret kompleksitas, kekalutan, ketidakteraturan, ketidakbecusan, dan sederet anomali lainnya.

Eksistensi liberalisasi memberi garis penekanan pada platform kebebasan individu atau peran rakyat secara aktif, dengan peran negara yang negatif merujuk teori dari maestro ilmu negara, George Jellinek. Liberalisasi juga mempromosikan adanya konstelasi interaksi dengan seluruh negara, tanpa adanya suatu restriksi diskriminatif dalam fase produksi, distribusi hingga pemasaran suatu produk barang dan jasa. Konsep ini lalu mendapatkan dukungan solid dari Milton Friedman yang menegaskan kehidupan ekonomi masyarakat paling ideal berlangsung tanpa campur tangan pemerintah dan Insentif individual merupakan pedoman terbaik untuk menstimulasi ekonomi. Serupa dengan itu, Walter Nicholson lantas menambahkan bahwa campur tangan pemerintah dalam kebijakan ekonomi dapat menyebabkan rent seeking behaviour yang ia istilahkan sebagai firm or individuals influencing goverment policy to increase their own welfare. Jalinan kooperatif antar keduanya inilah yang menjadi cikal bakal suatu paham yang belakangan dikenal sebagai neoliberalisme.

Memandang dari perspektif hukum, arah dan kendali sistemnya pun menyodorkan ruang proteksi optimal bagi kemerdekaan individu dengan mengarusutamakan prinsip kebebasan (principle of freedom), prinsip persamaan hak (principle of legal equality) serta prinsip timbal balik (principle of reciprocity). Sejalan dengan fungsinya sebagai social engineering dan social empowering, materi muatannya diterjemahkan untuk meladeni paham yang awalnya berakar dari ide dan kreasi Adam Smith tersebut. Dengan dalih itu, keadilan didudukkan sebagai variabel yang bersifat sub-ordinat dari kemerdekaan individu. Sepintas, pemaparan ini agaknya semakin meneguhkan argumentasi beberapa kalangan yang mensinyalir bahwa hukum di era kontemporer telah hanyut dalam derasnya gelombang liberalisasi dan berpindah haluan sebagai perahu kapitalisasi ekonomi yang kontras dengan cita-cita adiluhung to bring justice to the people.

Paradoks kesalahan inilah yang menjadi salah satu isu sentral dari buku “Bunga Rampai Pemikiran Hukum Kontemporer” yang ditulis oleh IGN Parikesit Widiatedja (29th), staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Udayana. Secara eksplisit, buku ini sepertinya merupakan kumpulan percikan pemikiran yang terpisah dan seolah berdiri sendiri, namun apabila ditelusuri lebih jauh dari alur logika, analogi, dan konsep yang diusung, bermuara pada satu kecenderungan yang senafas bahwa telah terjadi pergeseran degradatif dari visi dan orientasi hukum di era kontemporer. Untuk itu, penulis mencoba melacak gelagat keterpihakan hukum terhadap proses liberalisasi yang ditunjukkan dengan semakin luasnya daya jangkau dan operasionalisasi liberalisasi, dengan mulai merambah sektor-sektor sensitif yang menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia, seperti perbankan dan pariwisata. Dalam salah satu ulasan kritisnya, penulis menyatakan bahwa di era liberalisasi, hukum seolah-olah diabdikan pada paradigma ekonomi liberal dengan menjadi instrumen pasar menuju akumulasi modal dan laba. Pemikiran ini seakan menyegarkan kembali ingatan kita dengan perkataan Karl Marx bahwa ciri-ciri kapitalisme ditandai oleh adanya peraturan yang menyebabkan penimbunan dan konsentrasi modal dengan hasil akhirnya adalah peningkatan kemelaratan. Di bagian lainnya, penulis juga memaparkan begitu kooperatifnya Indonesia terhadap proses liberalisasi. Sinyalemen ini terungkap dengan masuknya bibit-bibit liberalisme dalam UUD 1945 yang dapat ditemukan dalam pasal 33 ayat 4 melalui pencantuman asas efisiensi, dan pasal 28 h ayat 4 UUD1945 tentang pengakuan dan jaminan terhadap hak milik individu dari pengambilalihan secara sewenang-wenang. Buntut dari perubahan revolusioner tersebut, tak kurang sekitar tiga puluh lima ketentuan hukum setingkat undang-undang telah diterbitkan pemerintah seiring peran aktifnya dalam proses liberalisasi.

Terdapat tiga tulisan yang menjadi curahan perhatian penulis terhadap gugusan fenomena getir di atas yakni menyangkut lisensi paten yang bertutur akan ketimpangan posisi tawar, manual prosedur, dan pertanggungjawaban proses alih teknologi antara negara maju dan berkembang, eksistensi bank asing yang justru menguasai peta persaingan perbankan dan menyebabkan babak-belurnya kondisi bank-bank lokal potensial nasional, serta keberadaan pariwisata sebagai industri terbesar di dunia dan menjadi keunggulan komparatif kita yang tak luput pula dari jamahan liberalisasi. Jika tidak disikapi dengan serius, bukan tidak mungkin bila apa yang diramalkan Hernando de Soto akan terjadinya ketergantungan dari negara berkembang terhadap negara maju (baca: kuat), benar-benar menjadi keniscayaan. Joseph E Stiglitz mendeskripsikan keadaan ini sebagai imbas asymmetric information di antara negara-negara di dunia. Secara tersirat, konstruksi ini seolah-olah mengamini apa yang dikatakan oleh Anaximander dan Gunplowics bahwa hukum tak ubahnya susunan defisi yang dibentuk justru untuk menyantuni pihak yang kuat dan menanggalkan apa yang dinamakan sebagai postulat moral atau meta-juridis.

Terlepas dari kurang lugasnya kritik yang diberikan, Buku ini juga layak disebut “jembatan penghubung” hukum dengan masyarakat awam yang notabene 90% bukan orang hukum mengingat jawaban dari serentetan problematika hukum yang acapkali meletupkan polemik, kemelut, dan kerisauan di masyarakat dapat pula ditemui di dalam buku ini. Seperti apakah interaksi intensif hukum dengan politik? Mengapa kepentingan politik selalu mengintervensi hukum? bagaimana pengaruhnya terhadap peraturan hukum yang dihasilkan? lalu mengapa penegakan hukum yang tidak memihak ibarat angan-angan kosong belaka (wishful thinking)? Benarkah belenggu kekuasaan berdampak sistemik pada proses penegakan hukum itu? lalu apakah kontribusi konkret hukum dalam pembangunan ekonomi? Mengapa hukum dikatakan telah menjelma sebagai ilmu perumus yang justru menjerumuskan ekonomi Indonesia? Benarkah kontrol kolonial gaya baru telah menancapkan kukunya dalam bentuk liberalisasi? Sederet pertanyaan populer inilah yang tampaknya coba dijawab tuntas penulis di dalam buku pertamanya tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar