Rabu, 12 Mei 2010

ASAS RETROAKTIF DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA

Hukum pidana Indonesia pada dasarnya menganut asas legalitas sebagimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Salah satu konsekuensi dari ketentuan dari pasal tersebut adalah larangan memberlakukan surut suatu perundang-undangan pidana atau yang dikenal dengan istilah asas retroaktif. Pada awalnya, larangan pemberlakuan surut suatu peraturan pidana terdapat dalam Pasal 6 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlands Indie (AB) S.1947-23, kemudian muncul dalam Konstitusi, yaitu UUDS 1950 Pasal 14 ayat (2). Larangan asas retroaktif juga ditegaskan dalam Pasal 28 I ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan:
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”
Adapun dasar pemikiran dari larangan tersebut adalah:
a. Untuk menjamin kebebasan individu dari kesewenang-wenangan penguasa.
b. Pidana itu juga sebagai paksaan psikis (teori psychologische dwang dari Anselm von Feurebach). Dengan adanya ancaman pidana terhadap orang yang melakukan tindak pidana, penguasa berusaha mempengaruhi jiwa si calon pembuat untuk tidak berbuat.
Meskipun prinsip dasar dari hukum berpegang pada asas legalitas namun dalam beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan asas legalitas ini tidak berlaku mutlak. Artinya dimungkinkan pemberlakuan asas retroaktif walaupun hanya dalam hal-hal tertentu saja. Pemberlakuan surut diizinkan jika sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP yang menyebutkan “ Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.” Suatu peraturan perundang-undangan mengandung asas retroaktif jika :
a. menyatakan seseorang bersalah karena melakukan suatu perbuatan yang ketika perbuatan tersebut dilakukan bukan merupakan perbuatan yang dapat dipidana; dan
b. menjatuhkan hukuman atau pidana yang lebih berat daripada hukuman atau pidana yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan (Pasal 12 Ayat 2 Deklarasi Universal HAM).
Asas retroaktif tidak boleh digunakan kecuali telah memenuhi empat syarat kumulatif:
(1) kejahatan berupa pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman dan destruksinya setara dengannya;
(2) peradilannya bersifat internasional, bukan peradilan nasional;
(3) peradilannya bersifat ad hoc, bukan peradilan permanen; dan
(4) keadaan hukum nasional negara bersangkutan tidak dapat dijalankan karena sarana, aparat, atau ketentuan hukumnya tidak sanggup menjangkau kejahatan pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman dan destruksinya setara dengannya.
Beberapa ketentuan yang mengatur mengenai asas retroaktif ini diatur dalam Penjelasan Pasal 4, Pasal 18 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 (khusus yang berkaitan dengan hukum pidana) dan Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000, Pasal 46 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang menjadi UU No. 15 Tahun 2003 dan Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 yang akhirnya menjadi UU No. 16 Tahun 2003.
Asas Retroaktif Dalam Instrumen Hukum Internasional
Pada saat ini larangan pemberlakuan surut (non retroaktif) suatu peraturan pidana sudah menjadi hal yang umum di dunia internasional, misalnya dalam Artikel 99 Konvensi Jenewa Ketiga 12 Agustus 1949, Pasal 4 dan Pasal 28 Konvensi Wina 1969 (Vienna Convention on the Law and Treaties) yang mengatur perjanjian antara negara dan negara dan Pasal 4 dan Pasal 28 Konvensi Wina 1986 (Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International Organizations or between International Organizations). Selain itu dapat pula dilihat dalam Pasal 11 ayat (2) Universal Declaration of Human Right 1948, Pasal 15 ayat (1) International Covenant on Civil and Political Rights 1966/ICCPR, Pasal 7 European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms and Its Eight Protocols, Pasal 9 American Convention on Human Rights dan Rome Statute of the International Criminal Court (1998) yang tetap mempertahankan prinsip-prinsip asas legalitas, terutama dalam Pasal 22-24.
Meskipun ketentuan dalam hukum internasional menentukan demikian, bukan berarti tidak ada kecualian, artinya kesempatan untuk memberlakukan asas retroaktif tetap terbuka. Ini terjadi karena ketentuan hukum internasional tersebut di atas memberi kemungkinan untuk melakukan penyimpangan. Ini dapat dilihat dari ketentuan dalam Pasal 28 Konvensi Wina 1969 dan Pasal 28 Konvensi Wina 1986 yang rumusannya sama persis. Kemudian Pasal 64 dan Pasal 53 kedua konvensi itu juga memberi kemungkinan berlakunya asas retroaktif. Ketentuan lain dapat kita lihat dalam Pasal 103 Piagam PBB dan Pasal 15 ayat (2) ICCPR yang merupakan pengecualian terhadap Pasal 15 ayat (1).
Dari praktek hukum pidana internasional, dapat dilihat bahwa asas retroaktif ini diberlakukan terhadap beberapa peristiwa tertentu, yang pada akhirnya praktek ini mempengaruhi pembuatan ketentuan penyimpangan atau pengecualian dari asas non retroaktif pada instrumen hukum internasional. Mahkamah pidana internasional Nuremberg 1946 dan Tokyo 1948 yang mengadili penjahat perang pada Perang Dunia II, International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) merupakan contoh penerapan asas retroaktif. Pelanggaran terhadap asas non-retroaktif tersebut merupakan momentum penting, merupakan “benchmark” dalam perkembangan politik hukum pidana pasca Perang Dunia Kedua, sekalipun telah menimbulkan pro dan kontra dikalangan para ahli hukum pidana di seluruh dunia.

Analisis Yuridis
Penolakan terhadap asas retroaktif dipicu dari adanya anggapan bahwa asas retroaktif merupakan wadah dari political revenge (balas dendam politik) sehingga asas retroaktif dikatakan sebagai refleksi dari lex talionios (balas dendam). Larangan akan pemberlakuan asas retroaktif dalam instrumen hukum internasional dan hukum nasional setidaknya menjadi indikator bahwa asas ini masih terbuka untuk diperdebatkan. Larangan mengenai asas retroaktif ini merupakan non derogable rights (hak-hak yang tidak dapat ditangguhkan atau dibatasi (dikurangi) pemenuhannya oleh negara, meskipun dalam kondisi darurat sekalipun) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 15 International Covenant on Civil and Political Rights yang diratifikasi melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik) kecuali memenuhi syarat komulatif yakni:
a. sepanjang ada situasi mendesak yang secara resmi dinyatakan sebagai situasi darurat yang mengancam kehidupan bernegara
b. penangguhan atau pembatasan tersebut tidak boleh didasarkan pada diskriminasi ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal-usul sosial,
c. pembatasan dan penangguhan yang dimaksud harus dilaporkan kepada Perserikatan Bangsa Bangsa(PBB).
Pemberlakuan asas reroaktif sebaiknya tetap dipertahankan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Hal tersebut didasari oleh beberapa alasan yakni:
a. Secara yuridis, asas retroaktif dimungkinkan melalui rumusan Pasal 28 J Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945 yang menyebutkan:
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
b. Ketentuan internasional memberikan peluang untuk memberlakukan asas retroaktif, bahkan telah menerapkan asas ini melalui pengadilan ad hoc di Nuremberg, Tokyo dan sebagainya sebagaimana telah diauraikan sebelumnya.
c. Asas retroaktif merupakan senjata untuk menghadapi kejahatan-kejahatan baru yang tidak dapat disejajarkan dengan tindak pidana yang terdapat dalam KUHP ataupun diluar KUHP. Dengan demikian tidak ada pelaku yang dapat lolos dari jeratan hukum.
d. Pemberlakuan asas retroaktif merupakan cerminan dari asas keadilan baik terhadap pelaku maupun korban.
e. Asas retroaktif sangat diperlukan dalam mengadili kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Adapun kualifikasi extra ordinary crime dapat dilihat pada jumlah korban, cara dilakukannya kejahatan, dampak psikologis yang ditimbulkan serta kualifikasi kejahatan yang ditetapkan oleh PBB.
f. Sesuai dengan asas-asas hukum pidana internasional, penolakan terhadap asas retroaktif ini semata-mata hanya dilihat melalui pendekatan hukum tata negara saja tanpa memperhatikan aspek pidana (nasional dan internasional).




DAFTAR BACAAN


BUKU-BUKU
Andi Hamzah, 1992, Hukum Pidana Politik, Pradnya Paramita, Jakarta.
Barda Nawawi Arief, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Remmelink, J. 2003, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, Gramedia, Jakarta.
Romli Atmasasmita, 2001, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum, Mandar Maju, Bandung.
_________________, 2004, Kapita Selekta Hukum Pidana Internasional, Jilid Ke-2, Utomo, Bandung.
_________________, 2004, Pengantar Hukum Pidana Internasional Bagian II, Hecca Mitra Utama, Jakarta.
Serikat Putra Jaya, Nyoman, 2009, Pemberlakuan Hukum Pidana Secara Retroaktif Sebagai Penyeimbang Asas Legalitas Dan Asas Keadilan (Suatu Pergeseran Paradigma Dalam Ilmu Hukum Pidana), JTPTUNDIP, Semarang.
Shinta Agustina, 2006, Hukum Pidana Internasional Dalam Teori dan Praktek, Andalas University, Padang.


SUMBER HUKUM
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Asa Mandiri, Jakarta, 2005.

UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pada Peristiwa Peledakan Bom Di Bali Tanggal 12 Oktober 2002, Menjadi Undang-Undang.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik).

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pada Peristiwa Peledakan Bom Di Bali Tanggal 12 Oktober 2002.

International Covenant on Civil and Political Rights

International Convention for the Suppression of Terrorist Bombing 1997.

International Convention for the Suppression of Fiturncing of Terrorism 1999, European Convention on the Suppression of Terrorism 1978.

The Arab Convention on the Suppression of Terrorism 1998 dan SAARC Regional Convention on Suppression of Terrorism 1987.



JURNAL ILMIAH

Agung Yudhawiranata, Menyelesaikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Di Masa Lalu, dalam Dignitas, Jurnal Hak Asasi Manusia, Vol. I No. 1 Tahun 2003, Elsam, Jakarta.

Indriyanto Seno Adji, Catatan Tentang Pengadilan HAM dan Masalahnya, Artikel pada Majalah Hukum Pro Justitia Tahun XIX No. 1 Januari 2001, FH UNPAR, Bandung.

¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬_________________, “Terorisme”, Perpu No. 1 Tahun 2002 Dalam Perspektif Hukum Pidana dan Hak Asasi Manusia, Artikel dalam Jurnal Hukum Pro Justitia Tahun XX No. 1, Januari 2003, FH UNPAR, Bandung.

Parthiana, I Wayan Beberapa Masalah Hukum Dari Asas Non Retroactive Dalam UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM, Artikel dalam Jurnal Hukum Pro Justitia Tahun XX No. 3 Juli 2002, FH UNPAR Bandung.

Bahan-bahan Kuliah Hukum Pidana Internasional, Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Udayana, Denpasar, 2010.

4 komentar:

  1. byk referensinya y???ok,,berbicara tentang asas retroaktif,,mase ingat putusan MK no.013/PUU-I/2003 tentang pengujian UU No.16 tahun 2003 tentang penetapan perpu No.2 tahun 2002 tentang pemberlakuan perpu no.1 tahun 2002 tentang pembrantasan tindak pidana terorisme pada peristiwa peledakan bom bali 12 oktober 2002 terhadap UUD 45...bgmn anda menyikapi hal itu?

    BalasHapus
  2. Secara yuridis normatif putusan MK memang masuk akal.. artinya asas retroaktif memang dilarang dalam UUD khususnya pasal 28 i...... yg harus dilakukan adalah mengharmonisasi ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia

    BalasHapus
  3. Apakah dalam hukum tata negara juga berlaku asas non-retroaktif?
    Asas ini berangkat dari asas legalitas yang nota bene berada dalam ranah hukum pidana. Sama hal nya soal Ultra Petita yang hanya dikenal dalam hukum perdata. Sementara dalam hukum tata negara ultra petita itu malah diterapkan (lihat putusan MK soal Pilkada Ulang, dll).

    BalasHapus
  4. Terima kasih
    ini sangat membantu saya dalam memperdalam materi perkuliahan
    http://melatifadla.student.ipb.ac.id/

    BalasHapus